heart-to-heart
Cukup lama kamu terdiam, tidak berkata-kata, tidak bersuara, tidak juga memberikan tanda. Kamu membiarkan ceritaku terus mengalir, hingga aku sampai pada titik yang membuatku memaksa kamu untuk bicara. Karena aku menantikan jawaban atas semua yang aku ceritakan kepadamu.
Aku berkali-kali bilang, agar kamu tidak membiarkan si otak yang sok tahu, untuk ikut campur dalam masalahku. Karena ini hanya antara kita berdua saja, ini permasalahan hati, maka aku yakin kamulah orang yang tepat untuk aku mengadu, bukan si otak.
Orang bilang, kamu dan si otak tidak bisa berjalan beriringan, karena kalian selalu mengambil dua sudut pandang yang berlawanan.
Dibandingkan dengan si otak, kamu jauh lebih mengerti dan mengenal aku. Si otak, akan selalu berbicara tentang SEHARUSNYA, dan memaksa aku untuk melakukan apa yang tidak aku suka, sementara kamu tidak pernah. Kamu membiarkan saya memilih untuk menjalani mana yang saya suka. Mungkin karena itulah, aku lebih suka untuk membagikan semuanya hanya kepada kamu.
Setelah malam itu, entah berapa malam yang aku habiskan untuk diam. Mencarimu lagi, mencoba mendengarkan jawabanmu. Tapi hasilnya nihil. Atau mungkin, aku yang tidak mendengar jawabanmu? Atau mungkin juga, kamu sudah menjawab, tapi aku mengira itu jawaban dari si otak hanya karena aku tidak menyukai jawabanmu? Kuharap bukan seperti itu.
Hei kata hati, kali ini setelah kamu tahu segalanya yang aku ceritakan di malam itu, aku butuh kamu lagi, secepatnya. Tidak hanya untuk kamu dengarkan, tapi juga untuk kamu beri jawaban. Dan, bantu aku untuk membedakan kamu dengan saudara kembarmu, si keras kepala.
Kata hati, aku janji, apapun jawaban yang kamu berikan, akan aku turuti. Karena kamu tidak pernah membawaku ke jalan yang salah, dan kamu tidak pernah mengecewakan aku. Kamu sahabat terbaikku. Tegur aku jika aku tidak percaya kata-katamu, dan gandeng aku jika aku mulai mengandalkan si keras kepala.
Sekali lagi, aku butuh kamu, jawab aku, kata hati.

