Semalam Syahdu di Imah Baduy
Malam yang dingin di Imah Baduy, Bukit Sentul, sekitar satu
setengah jam berkendara dari Ibu Kota. Tanpa sinyal, tanpa paket internet, yang
otomatis membuat kami dengan legawa dapat meletakkan handphone dimana saja dan
bersosialisasi dengan apa yang ada di depan mata. Sebuah realita sederhana yang
sudah lama tidak kami rasakan semenjak smartphone dan internet mulai membuat
kami semua kecanduan.
Syahdu, kata pertama yang menggambarkan suasana di rumah ini. |
Pemandangan dapur dari sisi luar di sore hari. |
Sosis bakar dan kentang goreng yang kami buat sendiri
sebelumnya, berkaleng-kaleng bir, bintang-bintang kecil yang bertebaran di
langit, obrolan hangat, dan kami yang bersenda gurau di halaman belakang sambil
memainkan kartu uno. Di belakang kami, masih berdiri kokoh rumah joglo klasik
dengan berbagai perabotan unik nan jadul. Kamar mandinya khas kamar mandi di
pedesaan, dengan bak super besar dan tak ketinggalan air super dingin.
Di sela-sela permainan uno, tak lupa kami nyanyikan lagu-lagu
akustik untuk mengimbangi suara jangkrik dan angin malam. Sebuah kisah klasik,
bukan pujangga, tak pernah padam, dan lagu-lagu akustikan yang dibawakan guitalele
Janu dan Petra dengan jenaka diiringi suara-tidak-terlalu-merdu-namun-masih-enak-didengar
dari kami para wanita (memuji diri sendiri boleh ya).
Natal & Janu, menunggu giliran mandi sembari jamming diiring sunset. |
Romantis yaa? Tentu, apalagi saya mengalaminya bersama
teman-teman terdekat saya, dalam momen yang ceritanya adalah perpisahan untuk
saya meski dengan personil seadanya (saya, natal, petra, janu, citra, benno dan
jami, fyi, dua nama terakhir pun sesungguhnya adalah peserta tambahan :p).
Selain lokasi dan ambience dari Imah Baduy (thanks to Natal)
yang special ini, ketidakberadaan sinyal di tempat ini rupanya justru menambah
keromantisan kami malam itu. Bayangkan, kapan lagi kami bisa berlibur tanpa
menghiraukan smartphone yang biasanya tak henti berbunyi karena notifikasi?
Malam itu kami bisa, dan kami sangat menikmatinya (kecuali saat para pria
kesulitan menghubungi pasangannya untuk sekedar memberi kabar).
Rupanya tak hanya malam yang membuat kami betah di tempat
ini. Pagi harinya, bagaikan teman yang sudah lama tinggal bersama kami secara
otomatis saling membagi tugas untuk menyiapkan sarapan bagi kami sendiri. Sebut
saja Petra dan Natal sebagai chef kami hari itu yang memasakkan nasi goreng ala
mereka, dengan bantuan dari kami semua.
Hingga waktunya pulang tiba, kami masih saja malas beranjak
dari rumah yang nyaman ini. Ah, terima kasih ya teman-teman sudah meluangkan
waktunya untuk semalam bersamaku dalam acara perpisahan ala-ala ini.
Kapan-kapan ajak lagi aku kemari dan kita ulang lagi memori ini.
Team weekenders kali ini. |