Sep 28, 2016

Suatu malam di tengah rintik hujan, kala jemariku sibuk menghitung jumlah hari-hari yang telah berlalu sejak kala itu, ingatan tentangmu menyergapku. Bukan karena dengan sengaja berusaha aku mengingatmu, tapi bagaimana mungkin aku bisa meniadakan sosokmu setelah bulan demi bulan yang berlalu tanpa absenmu?

Mungkin kamu tak ingat, perjumpaan pertama kita kala itu. Saat itu, aku tak menganggapnya penting dan perlu direkam dalam relung ingatan. Tapi nyatanya, bagaimana caramu menggulung sweater hitam yang membalut kemeja putihmu masih jelas dalam ingatan. Bagaimana aku bersikap sedikit canggung dengan membiarkanmu berdiri sementara aku duduk di atas jok motor saat kita membiarkan obrolan pertama kita mengalir deras, aku ingat. Tak pernah sengaja berusaha kuingat, tapi otakku dan mungkin saja hatiku, walau mungkin terlalu cepat telah memberimu tempat, sejak awal. Jika 3 detik pertama dalam setiap pertemuan dengan wajah baru adalah penentuan, maka kau boleh tenang, karena 30 menit pertama denganmu tak terlupakan bagiku. 

Di hari-hari setelahnya, saat pertemuan-pertemuan kita lebih dari sekedar bertatapan layar, cuplikan-cuplikan kejadian yang jauh dari kata romantis dan tidak pula mesran pun masih kuingat. Saat mangkok nasiku menggelimpang, di makan malam pertama kita dalam warung tenda yang ternyata sama-sama tempat terfavorit kita, yang kau sambut dengan senyum malu karena masih enggan ingin menertawakanku lepas-lepas. Ah tak apa jika kau menertawakanku sekarang, sesungguhnya itulah bentuk salah tingkahku. 

Setelah semakin lama kau mengenalku, perlahan akupun mengingat nada-nada berbeda yang kau sampaikan dalam setiap ekspresimu. Kau akan merendahkan suara saat kau berkeluh kesah. Lalu saat kau luapkan amarah, nada tinggi dengan volume sedikit lebih keras dengan penekanan pada tiap kata akan keluar tanpa kau sadari. Tapi kau bisa jadi berubah jadi sosok yang lembut saat kau membisikkan kata sayang ataupun pujian sembari mengecup keningku. Dan hei, kau perlu tahu, bagian favoritku adalah saat kau memainkan nada-nada manja di telingaku. Cukup untuk membangkitkan naluriku yang ingin merawatmu seumur hidupku. Beruntunglah aku, karena katamu tak semua orang kau biarkan melihat sisi manjamu. Bagian favoritku selanjutnya, adalah saat tawa renyahmu kau lepaskan. Entah karena leluconku yang terkadang aneh bagimu, atau karena acara tv favoritmu di setiap malam minggu. Yang mampu memecah tawamu sedemikian hebat hingga spring bed yang menjadi alas kita berbaring malas ikut bergetar karenanya. 




Dan di hari-hari penuh petualangan dimana kau ajak aku ikut ke dalamnya, malam-malam dingin sesudahnya, tak ada sedikitpun bagian yang terlewatkan. Ingatkah kamu pada beberapa perjalanan yang mengharuskan kita melewati medan-medan sulit, jalanan berembun, berkelok-kelok serta hutan-hutan dengan sepeda motor kesayanganmu? Dengan hati-hati kau kendarai kuda besimu, seraya tetap menenangkanku yang tersenyum pun tak lagi mampu. Padahal jika dikaitkan dengan waktu, akulah yang seharusnya menjagamu dari segala jenis hal yang membuatmu takut, karena aku sudah lebih dulu mengalaminya. Ah iya, aku pun ingat betul, bagaimana kau sedikit kecewa di pantai pertama, karena melihat raut mukaku yang tak cerminkan perasaan gembira. Lalu kau seolah mendapat hiburan saat menyaksikanku menghabiskan bekal kita berdua, lebih banyak dari yang pernah kau kira. Kau ingat lelucon keongmu? Sampai sekarang aku tak pernah lupa itu. 


Setiap harinya, aku masih terkesan dengan cara matamu menyipit yang sekaligus mencetak lesung terbaik di pipi kirimu, saat kau tersenyum dan tertawa. Yang kutangkap sebagai penyejuk jiwa paling indah yang pernah ada, terlebih saat akulah yang menjadi alasan mereka ada.

Perihal makan, aku selalu ingat bahwa kau lelaki dengan ritual makan paling panjang yang pernah kukenal. Dimulai dengan tambahan merica, garam, kecap dan sambal, lalu kau tutup dengan kebiasaan burukmu mengulum es batu yang kau telan dengan terburu-buru jika aku memergokinya. Jangan lupa, hanya gunakan sendok dan garpu yang sudah kubersihkan sebelumnya. Kau pun selalu mengingatnya.

Gesture-gesture lucu yang hanya milikmu, yang kau sajikan di waktu-waktu yang tak terduga tak pernah ada yang terlewat untuk kuingat. Sepulang dari perjalanan pantai pertama, di persimpangan terakhir sebelum sampai di rumah, tangan kirimu menggenggam tanganku sembari mengucapkan "Terima kasih ya, sudah mau ikut jalan-jalan." Serinci itu aku mampu mengingatmu. 

Masih kuingat, perjumpaan pertama dengan ibumu yang kala itu sedang sibuk membuat pempek, dan aku terlalu pemalu untuk menawarkan bantuan. Dan percakapan-percakapan sesudahnya yang kulakukan bersama beliau di ruang tamu rumahmu, saat kau sedang belajar di kamarmu atau bersenandung bebas sembari mandi di ruang tengah. Bagaimana ibumu begitu bersemangat ketika mendengar kabar bahwa sidang pendadaranmu tak lama lagi, betapa matanya memancarkan bahwa belia menaruh harapan yang sangat besar padamu, semuanya kuingat. Serupa dengan senyum tipis milik ayahmu, yang jarang ditampakkan namun selalu beliau sunggingkan saat aku berpamitan pulang. Atau mungkin kau ingat, saat Ayahmu menawarkanku makan malam, di tengah perjalan pulang sedari mudik lebaran? Terkadang, hal-hal sekecil itu mampu membuatku terharu.



Lalu, kebiasaan kita mengunjungi adik-adikku setiap istirahat makan siang. Bagaimana kamu masih ragu dan takut untuk mengetuk pintu terlebih dahulu, meski sudah lebih dari lusinan kali kamu berkunjung ke rumah ini. Dan ternyata, tak hanya aku yang mampu melihat, bagaimana kamu menunjukkan rasa sayang dan perhatian pada kedua adik kecilku yang kini kian manja dan akrab denganmu, hingga sedikit mengacuhkanku saat kamu ada bersamaku.

Dan, siapa lagi yang iseng dengan kebiasaan menggigit mulai dari lengan, pipi, sampai telingaku yang tak jarang membuatku cemberut lucu, kalau bukan kamu? Atau bagaimana ekspresi wajahmu saat melihatku muncul di ruang tamu saat kamu menjemputku sambil menyapa "Selamat pagi cantik," yang tidak akan pernah aku lupa.

Siapa bilang aku tak pernah bersedih selama bersamamu? Bagian terburuk adalah saat kau didiagnosa tifus selama lebih dari satu minggu. Aku kehilangan semua tingkah lucumu, berganti dengan raut wajah sendu, serta lesu. Aku masih ingat panas badanmu, mata sayumu, dan lemasmu saat aku datang menjenguk untuk menyuapi makan dan memijatmu sampai kau tertidur. 

Setiap hari Minggu yang kita lalui bersama di Gereja-gereja di penjuru Jogja, hatiku selalu berdebar saat jari-jarimu menggenapi ruang di antara jari-jariku, tanganmu menggengamku seraya kita menyanyikan lagu Bapa Kami bersama, indah. Kau pernah bilang, beberapa tahun lagi, akan ada tangan kecil yang ikut kita genggam dan bernyanyi bersama kita. Sadarkah kau, ucapanmu itu kuamini dengan begitu cepatnya?



Aku juga ingat, bagaimana kau selalu berusaha menenangkanku dan kembali memenangkanku saat kau menangkap ada sinyal cemburu dari mata dan juga gerak-gerikku. Jujur saja, kamu selalu lucu sekaligus membuatku tersentuh saat sedang berusaha mati-matian untuk tidak membuatku marah. Ingat pijatan di telapak kaki karena kau menggigitku hingga aku menangis? Sungguh hanya kamu yang mampu merayu sedemikian baik hingga aku tak pernah bisa berlama-lama marah padamu.

Dengan penuh yakin aku berani berkata bahwa daftar hal-hal ini bukanlah sesuatu yang perlu kuingat darimu. Seyakin aku percaya bahwa semua gesture, tingkah dan kata-katamu yang terekam begitu saja dalam ingatanku, masih akan berdiam di sana untuk waktu yang lama, dan mungkin selamanya. Seyakin pula aku percaya bahwa daftar ini akpean bertambah panjang seiring dengan hari-hari kita. 

Dan di hari-hari setelah ini, tak perlulah aku melupakan sedikitpun daripadamu, juga kesalahan yang dengan atau tanpa sengaja kau lakukan. Tak akan ada bagian yang aku lewatkan, sehingga nanti aku tak akan perlu mengingatmu dengan susah payah, karena kini dan nanti adalah milik kita.  

what should not be forgotten . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates