Jan 22, 2018

Bicara mantan emang sedikit kontroversial dan berbahaya sih. Terlalu banyak unsur hati, salah-salah bisa jadi baper dan kangen doi. Tapi tenanglah, mantan yang satu ini tak akan bikin hubungan runyam dan melelehkan air mata pasangan. Cuma pengen cerita sedikit tentang mantan kota tempat rantau, si kota kejam kesayangan.



***
Perjalanan saya sebagai anak rantau di Jakarta dimulai Mei 2013 sampai dengan Oktober 2015. Dua tahun lebih, cukup lama, sudah bisa lah sedikit banyak saya menghapal jalan-jalan dan daerah di sana.

Jakarta siang malam, nyaris tak ada beda. Kantor pertama saya di Jakarta, merenggut seluruh kehidupan yang saya punya. Sebuah advertising agency milik lokal, dengan klien-klien nasional yang dapat menaikkan gengsi karyawannya (ini juga salah satu rahasia anak agency, klien naikin gengsi!!)

Kala itu, saya berangkat ngantor setiap jam setengah 10 pagi, setelah terbangun oleh alarm kamar sebelah yang selalu membuat saya teringat rumah dan ingin pulang, terlebih mengingat deadline pekerjaan kantor yang tak pernah membiarkan saya bernafas lega. Setiap pagi, saya berjalan kaki sampai ke halte TransJakarta terdekat, kurang lebih 10-15 menit. Udaranya kotor, panas, tapi antek-antek gedung tinggi di sana sudah terlalu biasa menghadapinya. Tekanan kerjaan sehari-hari jauh lebih tinggi dari keringat-keringat yang bercucuran dalam perjalanan kaki menuju kantor, meski kami sudah rapi dan wangi.

Saya pun tak pernah melaluinya dengan keluh. Eh pernah ding. Waktu itu hujan deras, saya berangkat ke kantor berjalan kaki dan berlindung payung. Di tengah perjalanan, tikungan yang saya biasa lewati ternyata terendam genangan air cukup tinggi, kira-kira semata kaki dan saya sudah rapi pakai baju kantor. UGH. Terpaksa saya tetap melewatinya, karena jika saya memilih putar balik untuk naik ojek/taksi, pasti akan terlambat. Tak jauh setelah melewati genangan yang bikin gatal itu, tetiba payung saya bocor, sampai rambut saya pada akhirnya basah juga karena air hujan tmasuk melalui lubang kecil di payung. Saya tidak mengeluh saat itu, tidak juga sekarang. Hanya meratapi kenapa gaji saya masih belum cukup besar untuk bisa pulang pergi ke kantor naik mobil sendiri :)))

Kadang, saat melintas para pedangan di halte, tak jarang pula saya melihat adegan dramatis tatkala Satpol PP melakukan razia dan mereka sibuk berlarian sembari kocar-kacir membereskan dagangan. Sesederhana ini, saat itu menumbuhkan semangat dan rasa syukur untuk pekerjaan yang saya punya. Meskipun saya tak pernah menikmati matahari tenggelam karena baru pulang kantor di atas jam 7 malam. Atau saya tak pernah bisa berbincang dengan kawan kosan karena saya selalu sampai di kos saat mereka sudah lelah dan menuju ketiduran di kamar masing-maasing. Tapi setidaknya, pekerjaan saya halal dan aman. Eh, yakin aman? Sesungguhnya saya juga sering gelisah karena menjadi satu-satunya penumpang Transjakarta, lantara saya pulang menjelang tengah malam, dari kawasan yang terkenal banyak premannya, Teminal Blok M. Jika lembur sampai di atas jam 10 malam, di depan kantor sudah banyak PSK-PSK berjejeran, dan dentuman musik-musik bar di seberang mulai terdengar riuh. Tak jarang taksi yang mengangkut saya bertanya, saya kerja apa? Atau cerita supir-supir taksi yang mengatakan kawasan ini sungguh rawan, mereka sering mendapat penumpang mabuk dan marah-marah dari daerah kantor saya. Hari-hari itu, saya tak tahu dapat suntikan keberanian dari mana, setelah sadar malam-malam saya riskan dan berbahaya. 

Tak lama pula saya bertahan di kantor ini, karena sesuatu dan lain hal, saya pun mencoba meninggalkan dunia agency dan masuk ke client side yang konon katanya lebih nyaman.

Nyaman kah? Sepertinya bisa dibilang begitu, terbukti di kantor kedua saya bertahan cukup lama, hampir dua tahun. Lebih banyak suka dari duka, walau tetap saja tensi pekerjaan begitu mencekam di waktu-waktu tertentu. Terbiasa bekerja dengan rekan yang seumuran, atau maksimal di bawah 35 tahun, membuat saya sedikit kaget dengan culture kantor kedua yang jauh lebih tua daripada saya. Dianggap masih kecil, di-underestimate, apalagi saat itu saya orang pertama mengerjakan jobdesc baru di kantor ini. Copywriter sekaligus social media manager. Ah, mereka sering sekali mencemooh "Wah, kerjanya cuma main facebook aja ya? Enak banget, gampang." yang kerap kali hanya saya balas dengan senyum tipis, setipis mungkin walau tangan di belakang punggung udah mengepal saking keselnya.

Tapi diam-diam, bekerja di antara orang-orang yang lebih tua juga terselip rasa yang menyenangkan. Sebagai anak kos, nggak jarang saya menerima perhatian dari rekan kerja yang rata-rata sudah berkeluarga. Yang paing sering tentunya dikasih makanan, ditanya-tanyain kalo sakit, tapi paling seneng kalau dibilang, kamu kok masih kaya anak SMA, kaya anak saya (hahaha, ini mah namanya narsis ya?).

***

Dua tahun setelah kepindahan kembali ke kampung halaman, di kota yang ke mana-mana serba dekat, anehnya saya terkadang rindu Jakarta. Ingin sih kembali ke sana, tapi nggak yakin apa saya masih bisa kembali berhadapan dengan kekejamannya setelah cukup lama mendekam di rumah yang jadi zona nyaman, dekat dengan keluarga pula.


Belum lagi setelah peristiwa yang bikin diri sendiri merasa salah strategi dalam menjalani hidup, ada sedikit sesal kenapa dulu pergi dari kota ini dan sekarang sudah merasa tertinggal untuk kembali lagi.

Anehnya, pergulatan-pergulatan ini justru semakin membuat saya berani menantang diri sendiri untuk berharap lagi pada kota. Berharap diberi tempat, untuk sekedar berkarya dan membuktikan diri lagi, setelah sempat kusumpahi bahwa saya tak akan kembali (dasar anak muda, suka terlalu emosyenel!)

***
Jakarta, Januari 2018
Tulisan blog ini kuselesaikan dari sebuah kamar kos di bilangan Cikini, Jakarta Pusat setelah berdialog dengan diri sendiri. Sedang menanti kabar apakah saya akan kembali lagi menambah sesak ibu kota, dengan cita-cita harapan yang berbeda. Ah mantan kota kejam kesayangan, bolehkah aku kembali lagi?



PS : rindu ini dipersembahkan oleh lagu Ode Buat Kota dari Bangkutaman.

what should not be forgotten . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates