Minggu Klasik nan Ciamik di Jakarta bersama Teman-teman Terbaik
Suatu
hari sebuah pesan singkat masuk ke grup line saya.
"Tit, sebelum balik jogja kamu kudu ke gereja dulu. Besok ke gereja katedral yuk!" Menggelitik namun tepat sasaran, karena memang selama ini saya jarang ke gereja.
"Tit, sebelum balik jogja kamu kudu ke gereja dulu. Besok ke gereja katedral yuk!" Menggelitik namun tepat sasaran, karena memang selama ini saya jarang ke gereja.
Jadilah
pada hari Minggu 13 September kemarin, saya mengunjungi Sang Pemberi
Hidup. Seingat saya terakhir kali saya mengunjungi tempat ini adalah
Natal 2014.
Belum
banyak yang berubah, tapi ada perbedaan yang cukup signifikan
mengikuti ekaristi di pagi hari dan siang hari di tempat ini. Pagi
itu, saya dan teman-teman mengikuti misa jam 9. Suasananya masih
sejuk, kicau burung berkali-kali terdengar menambah syahdu rumah doa
ini. Kebetulan kami semua juga datang sekitar 30 menit sebelum misa
dimulai, sehingga masih banyak tempat duduk kosong tersisa.
Seusai
misa, kami tentu tak melewatkan kesempatan untuk foto bersama
mengingat betapa klasik dan tersohornya gereja katedral ini.
Kebetulan saya sengaja membawa #sonya5000 saya, dan bergegas
mengambil beberapa gambar untuk nanti diunggah ke instagram. Namun
betapa kagetnya saat saya ingin mengecek foto-foto yang saya ambil,
ternyata memory card si #sonya5000 tidak ada di tempat. IIHHH! Pasti
bisa membayangkan betapa kesalnya saya saat itu kan? Barulah saya
ingat bahwa memory cardnya masih tertinggal di tas kerja. Yah sudah,
sia-sia foto-foto yang tadi sempat saya ambil, untungnya tidak
banyak.
| Gereja Katedral Jakarta, gereja klasik tersohor yang tidak pernah sepi. |
Santapan
rohani sudah terpenuhi, nah saatnya mengisi perut dengan santapan
jasmani. Karena hari ini adalah acara yang penuh rencana, saya pun
sudah merencanakan untuk mengajak teman-teman makan klasik di gang
sempit daerah Glodog. Nama tempatnya Kopi Es Tak Kie, sepertinya
tempat ini adalah salah satu warung kopi sekaligus tempat makan babi
tertua di Jakarta. Penampilannya jauh dari kesan fancy, bahkan untuk
menuju kesana kita harus berjalan kaki melewati gang sempit yang juga
banyak menjual masakan dengan daging babi.
| Nasi campur, harganya sekitar 30ribuan dan es kopi susu sekitar 17 ribu. |
Sayangnya
hari itu kami kurang beruntung karena hanya tersisa bakmi dan nasi
tim. (Jika ingin kesana datanglah lebih pagi karena ternyata tempat
ini juga hanya buka sampai jam 2). Karena tidak begitu tertarik
dengan bakmi, saya mengiyakan tawaran nasi campur dari seorang
bapak-bapak tua yang tiba-tiba masuk ke dalam restoran ini dan
menawarkan makanan lain. Rupanya dia juga berjualan di depan
restoran. Salah seorang teman saya memesan sebak, isinya daging dan jeroan babi yang diolah dengan kuah ala tionghoa. Seporsi harganya Rp 40.000 dan bisa dimakan beramai-ramai.
Satu per satu pesanan kami datang. Nasi campurnya sedikit mengecewakan karena saya berharap bisa makan nasi campur dari Kopi Es Tak Kie. Tapi lumayanlah sebagai pengibur. Yang juara adalah Es Kopi Susunya, meskipun pucat namun ternyata rasa kopinya begitu kentara. Serasa surga bagi saya yang pecinta kopi.
Sesaat
sebelum piring kami tandas, salah seorang teman datang menyusul. Tak
lupa dia bercerita bagaimana sulitnya mencari tempat ini. Beberapa
menit kemudian, datang lagi salah seorang teman saya yang juga
mengeluhkan hal yang sama. Keduanya bertanya-tanya, siapa sih yang
berinisiatif makan di tempat se-tersembunyi ini? - dan saya hanya
menjawab dengan senyuman.
Belum
puas duduk dan saling bertukar kabar, kami melanjutkan acara untuk
membuat konser privat alias karaoke. Ini juga sudah saya agendakan
sebelumnya . Karaoke bersama teman-teman lama adalah salah satu
terapi paling manjur saat begitu banyak emosi dan perasaan yang ingin
disampaikan, atau singkatnya curhat terselubung.
Tembang-tembang
lawas seperti One Sweat Day, lagu kenangan masa SMA seperti High
School Never Ends, hits top billboard yang diwakili Sugar, hingga
lagu yang biasa digunakan untuk dugem seperti Live It Up tak luput
masuk ke dalam playlist kami. Semua seakan lepas kendali dan
membebaskan ekspresinya masing-masing. Dua jam terasa cukup, cukup
untuk membuat suara kami serak setelahmenyalurkan hasrat kami semua.
| Udah tua, masih aja suka selfie di dalam lift. |
Satu
hal yang saya sadari dari main sehari dengan teman-teman SMA saya,
adalah sekeras apapun hidup, sekeren apapun pekerjaan kami sekarang,
saat bertemu kembali kami tidak pernah berubah. Dan saya yakin,
sahabat-sahabat SMA adalah orang-orang yang akan menjadi sahabat
sepanjang hidup saya. Terima kasih untuk hari ini, gengs!
