Pelayaran Manis ke Perairan Eksotis di Ujung Timur Indonesia
Teman
baru, tempat baru, pengalaman baru. Bagaimana jika semuanya
digabungkan dalam satu waktu? Super seru!
Begitu
Labuan Bajo diputuskan sebagai destinasi, saya Petra dan Nusa sebagai
penggagas ide ini, yang menganut aliran "kelompok anak baik-baik
tidak rewel dan suka jalan-jalan murah" segera bergerak mencari
sekutu. Kami mencari orang sebanyak-banyaknya agar biaya yang
dikeluarkan semakin sedikit. Kencana
Adventure menjadi
pilihan sekaligus puncak ekspektasi dari perjalanan kali ini.
Eksekusi memang tak semudah merencanakannya. Setelah mengalami
penolakan sana-sini, menerima berbagai alasan dan melalui berbagai
drama, terkumpullah 16 orang yang hingga kini saya yakini memang
ditakdirkan untuk menjadi travel buddies. Sebagian besar adalah teman
SMA kami dan pasangannya, lainnya ada teman kantor, teman yang baru
satu dua kali bertemu, hingga temannya teman.
Enam
hari lima malam, cukup lama untuk sebuah liburan, terhitung panjang
untuk ambil cuti bagi kami yang hanya seorang karyawan. Namun
berhubung tiket sudah dibeli, dan dengan iming-iming pengalaman live
on board selama empat hari tiga malam, semua memberanikan diri
mengajukan surat cuti.
Live
on board? Tinggal di kapal? Yak, selamat empat hari tiga malam kami
akan tinggal satu atap, terombang-ambing bersama dalam kapal standar
tanpa shower dan bak mandi, hanya toilet seadanya, persediaan air
terbatas, listrik dan sinyal sering ada dan tiada. Jangan kira kami
semua perenang handal, karena sebagian besar dari kami bahkan masih
takut menyentuh air laut tanpa berbekal life jacket. Ya memang, di
daratan dimana air berlimpah kami sering malas mandi, namun ketika
dihadapkan pada kenyataan bahwa kami tidak akan bertemu air tawar
selama tiga hari, nyatanya sebagian dari kami masih merasa jengah.
Namun apalah artinya liburan tanpa sebuah hal baru? Toh semua hal
yang terlihat tidak nyaman ini justru menjadi pemanis yang tidak
dibuat-buat.
Kapal
kami mulai berlayar di tanggal 30 April 2015, berangkat dari Labuan
Bajo yang merupakan pintu masuk menuju ke Taman Nasional Komodo.
Sebelumnya kami singgah di Pulau Kelor yang menjadi destinasi
pertama. Gradasi kebiruan dikelilingi perbukitan hijau, bau asin khas
lautan, dan warna warni biota di bawah sana ternyata sangat
menggiurkan. Tak perlu berlama-lama, segera saja sebagian dari kami
menceburkan diri dan berenang-renang di sekitar kapal. Kubikel sempit
di kantor yang selalu dihimpit dengan email, brief, job order,
telepon klien, kini tergantikan dengan pemandangan luar biasa yang
menemani waktu liburan kami. Lebih dari bahagia, apalagi bersama
teman-teman baru yang segera saja terasa seperti keluarga.
![]() |
| Pemberhentian pertama, pulau Rinca. |
Puas
berenang, kami kembali ke kapal untuk menuju ke Pulau Rinca. Pulau
Rinca adalah tempat tinggal dari sekitar 2000 ekor komodo yang
semuanya masih liar, bebas dan hidup secara soliter yang bisa
dikelilingi dengan cara tracking. Bicara soal komodo, sejujurnya,
setiap mendengar kata "komodo" saya masih berdigik ngeri.
Saya bukan penyuka reptil dan binatang melata malahan cenderung geli
setiap melihat mereka. Tapi tentunya saya tidak sebodoh itu untuk
melewatkan pengalaman langka bertemu komodo hanya karena takut.
Nampaknya ini adalah pengalaman pertama bagi kami semua untuk melihat
komodo. Meski dengan takut-takut, berkat bantuan dari para
Ranger-sebutan untuk guide di Pulau Rinca, kami pun berhasil berfoto
bersama komodo.
Menghabiskan
waktu di kapal tidaklah menjadi hal yang membosankan. Banyak pilihan
kegiatan yang bisa dilakukan. Mengakrabkan diri dengan teman baru,
saling bercanda, bersandar di dek kapal dan memandangi lautan yang
tidak bisa dilakukan di hari-hari biasa, mengupload foto ke media
sosial (kalau-kalau ada sinyal), bermain games, ataupun tidur siang
seperti saya, dan tiba-tiba terbangun di Pink Beach.
![]() |
| Suasana di kapal saat makan siang |
Mengapa
disebut Pink Beach? Bukan, bukan airnya yang berwarna pink, tapi
pasirnya yang merupakan perpaduan warna merah dan putih sehingga
terlihat seperti pink. Yang spesial lagi, Pink Beach ini punya pasir
pantai yang sangat sangat lembut. Kalau boleh diumpamakan warna dan
teksturnya seperti seperti susu bubuk rasa strawberry.
Begitu
kapal merapat di sini, tanpa dikomando lagi kami sudah tahu bahwa ini
saatnya berenang. Ya, nampaknya kami sudah bisa menyesuaikan diri
dengan kehidupan di kapal yang berputar antara makan - tidur -
berenang - tracking - bermain games - makan - tidur - berenang dan
seterusnya. Menyenangkan sekali ya?
Pengalaman
Live On Board bagi kami tentu memiliki kesan tersendiri. Terlebih di
malam hari, ketika kapal menempuh perjalanan panjang menuju destinasi
selanjutnya, kami sempat mengalami ombak besar. Bayangkan saja, enam
belas orang yang tidak semuanya fasih berenang, di dalam kapal sedang
dengan sekoci yang nampak seadanya. Jika ombak ataupun badai besar
terjadi, dalam waktu singkat habislah kami ini. Makanya, untuk
membunuh perasaan takut, kami lebih memilih untuk berkumpul membuat
lingkaran dan memainkan permainan yang mengundang gelak tawa. Bahkan
para awak kapal ikut duduk di sekitar kami, menyaksikan kami bermain
dan ikut tertawa bersama kami. Goyangan-goyangan kecil akibat ombak,
bahkan terasa kalah dahsyat oleh keakraban kami malam itu.
Selama
tiga hari berikutnya, kami semakin terbiasa dengan ritme hidup di
atas kapal. Pagi dibangunkan dengan harum masakan dari bapak awak
kapal, setelahnya dilanjut dengan memandangi lautan sepanjang
perjalanan sampai puas. Siang beristirahat sejenak, dan saat
dibangunkan kami harus siap dengan pilihan kegiatan berenang atau
tracking. Menjalani hari-hari bersama teman baru dengan kegiatan yang
jauh berbeda dari biasanya, sepertinya cukup manjur untuk menghapus
segala kepenatan selama ini. Dan yang jelas, semua pemandangan gratis
yang kami nikmati selama perjalanan, membuat kami semakin jatuh cinta
dengan Indonesia.
Salah
satu destinasi yang bagi saya dan teman-teman spesial adalah Gili
Laba, yang disebut sebagai puncak tertinggi dari perjalanan kami ini.
Di Gili Laba masing-masing dari kami diberi pilihan. Jika ingin basah
dipersilakan snorkeling dan berenang, jika ingin sedikit berkeringat
pun tak dilarang untuk tracking, dan kali ini saya memilih tracking
sementara sebagian teman memilih berenang. Mendaki Gili Laba di
tengah hari yang panas bukanlah perkara mudah. Beberapa kali saya dan
teman-teman (saat itu kami berlima yang memilih tracking) berhenti
cukup lama, mengambil nafas dan terengah-engah. Bayangan kulit hitam
sudah bukan lagi menjadi masalah buat kami, karena kami yakin
pengalaman yang didapat tentu akan jauh lebih berharga dibanding
ketakutan kami yang tidak ingin menghitam. Sekitar tiga puluh menit
kemudian, sampailah di puncak yang membuat saya kehabisan kata-kata.
Bukan karena kelelahan, tapi justru karena rasa lelah setelah mendaki
terbayar dengan pemandangan luar biasa indah yang membuat saya secara
spontan bergumam, “Tuhan memang Maha Besar”. Sampai di puncak ini
membuat saya langsung berefleksi dan berterima kasih atas segala
ciptaan-Nya yang sungguh luar biasa. Memandangi ciptaan Tuhan sungguh
membuat saya menyadari, betapa kecil kita di hadapan-Nya.
![]() |
| Dari puncak Gili Laba bersama teman-teman VL XV. Can you see it? |
Setelah
mengabadikan pemandangan yang tidak akan pernah bisa saya lupakan
ini, saya dan teman-teman sejenak bersantai. Bayangkan, semilir angin
menemani hamparan savana gersang yang dikelilingi lautan biru yang
dari titik atas sini terlihat sangat jelas gradasi warnanya. Langit
cerah menambah kesempurnaan pemandangan yang sangat memanjakan mata
ini. Ketika tiba saatnya untuk turun dan kembali ke kapal, kaki saya
terasa enggan melangkah karena tidak ingin kehilangan pemandangan
se-surga ini begitu saja. Cobalah masukkan keyword “Gili Laba”
dalam search engine, dan bekerjalah lebih giat lagi supaya kalian
berkesempatan untuk mengunjunginya.
Di
hari-hari berikutnya Loh Buaya, Taman Nasional, Danau Satonda
berturut-turun menjadi destinasi kapal kami. Setiap turun dari kapal
dan memulai kegiatan, saya dan teman-teman seperti menanti-nanti,
kejutan apa yang ada di destinasi ini. Lautan biru dengan warna-warna
alami di bawahnya, berpapasan dengan si raksasa kanibal saat tracking
Taman Nasional Komodo, atau bahkan saat mendebarkan dimana salah
seorang teman kami menjadi incaran komodo karena sedang datang bulan.
Sore
terakhir sebelum pelayaran selesai, saya dan teman-teman mendapat
kabar gembira, “KAMI BISA MANDI!” Kapal merapat ke arah Pulau
Moyo, tempat dimana terdapat air terjun Moyo. Akhirnya bertemu air
tawar! Akhirnya bisa mandi dan mencuci rambut. Untuk saat itu,
sungguh hal (yang sebenarnya) biasa namun membawa kebahagiaan bagi
kami yang sudah bertahan empat hari tanpa mandi dan mencuci rambut.
Tanpa
terasa, malam itu adalah malam terakhir kami berlayar karena keesokan
harinya kami akan mengakhiri perjalanan di pelabuhan Kayangan, Lombok
Timur. Kekakuan di antara teman baru sudah tak lagi terasa, semua
sudah mencair dan menjadi keluarga. Awak kapal yang selama empat hari
tiga malam mendampingi kami pun sudah terasa seperti anggota keluarga
kami. Sedih juga rupanya meninggalkan kemesraan yang sudah terjalin
selama hampir sepekan ini.
Berlayar
bersama teman-teman baru, dengan berbagai karakteristik yang berbeda,
ada yang pandai melemparkan candaan dan mencairkan suasana, ada yang
pandai mengambil foto, ada yang terlihat pendiam namun ternyata sudah
sangat akrab dengan para awak kapal, ada yang menikmati dirinya
dijadikan bulan-bulanan ternyata sungguh menjadi pengalaman manis
bagi saya. Terima kasih, kalian semua sudah terlanjur menjadi travel
buddies istimewa buat saya.
![]() |
| Dapet salam dari rombongan anak baik-baik tidak rewel dan suka jalan-jalan murah! |
Ah,
sesungguhnya kisah ini tidak akan bisa menggambarkan secara lengkap
bagaimana perjalanan kami waktu itu. Jika kalian ingin tahu, silakan
intip hashtag #labourbajo yang
sengaja kami siapkan untuk menjawab pertanyaan "Gimana liburan
ke Bajo-nya?". Selamat menikmati, jangan sungkan untuk
menghubungi saya jika ada hal yang ingin ditanyakan.




