Sayonara, Jakarta
Meninggalkan Jakarta yang sudah menjadi tempat peraduan selama dua tahun lebih, menyisakan banyak suka duka. Jika semua orang bilang, “Senangnya bisa pulang, ninggalin macetnya Jakarta, balik ke Jogja yang serba murah,” tapi saya sesungguhnya tidak semudah itu. Memang lebih banyak suka, namun jika dikulik-kulik lagi, tentu ada perasaan sedih yang menyisakan perih, halah.
Di kota kejam dengan segudang harapan ini saya memiliki hampir semua jenis teman. Teman kerja yang gila-gila, teman belanja yang nggak suka kalau saya boros, teman nongkrong yang selalu nyari tempat murah, teman gereja yang cuma sebulan sekali, partner ngegigs yang cuma dateng ke acara gratisan, teman kulineran mewah, drinking buddies, teman curhat apa aja yang nggak pernah ngejugde, teman ngawul (berburu baju second import), teman yang bisa diajak bicara dari A sampai Z balik ke A lagi terus sampai pagi, teman yang suka numpang tidur di kosan dan nggak merasa tersinggung ketika saya cuma diem aja karena kami sama-sama lagi males ngomong, dan saya juga punya travel buddies yang udah dua kali jalan bareng (semoga ada yang ketiga, empat dan seterusnya). Yang saya nggak punya cuma satu, partner kondangan, dan untungnya saya belum pernah diharuskan untuk kondangan di Jakarta.
Kembali ke Jogja berarti saya harus siap kehilangan mereka. Kehilangan manusia-manusia yang selama dua tahun lebih ini sudah menghiasi hidup saya dengan manis, pahit, getir, mabuk-mabukan, jalan-jalan murah, dan berbagai peristiwa yang membuat hidup saya lebih hidup.
Tapi namanya juga hidup, saat mengambil keputusan untuk pulang saya pun menyadari bahwa saya tidak bisa selamanya bersama dengan teman-teman saya. Ritual nongkrong sampai larut dan haha-hihi bareng yang kini masih kerap kami lakukan, cepat atau lambat akan punah karena semua punya kesibukan baru masing-masing. Saya harus berani, meninggalkan Jakarta yang sudah mulai nyaman ini (secara saya ke kantor jalan kaki jadi jarangg sekali kena macet). Begitu juga pesan ibu saya, “Mbak gak akan bisa selamanya bareng temen-temen terus. Akan ada saatnya kalian harus pisah untuk mimpi masing-masing. Nanti ketemu lagi ketika semua udah lebih sukses, pasti lebih membanggakan.”
Ah Jakarta, masih banyak tempat yang belum saya kunjungi. Hutan mangrove di PIK, PIM, IKEA, AEON Mall, berbagai tempat makan babi di kelapa gading dan senayan, museum tekstil, pulau harapan, pantai sawarna, fat burger, roti bakar Edy, sate padang ajo ramon, dan banyak lagi tempat sebenarnya wish list yang belum terpenuhi. Lidah ini belum puas mencicipi ragam kuliner Jakarta yang banyak banget tersebar di sudut-sudut kota, bahkan yang dekat dengan tempat tinggal saya aja belum semuanya saya coba. Belanja murah di Mangga Dua dan ngawul di Pasar Senen atau Pasar Baru, beli kain di Mayestik, atau cari baju murah di ThamCit juga belum puas. Belum pernah juga merasakan naik ke puncak monas meski udah berkali-kali kesana. Keinginan untuk naik bus wisata tingkat yang sering wara-wiri di Sudirman juga belum terlaksana. Jadi nyesel selama ini banyak juga weekend yang terbuang dengan tidur-tiduran di kos karena menolak ajakan kemana-mana. Yah, namanya juga manusia, banyak rencana ujungnya cuma jadi wacana.
Akhirnya saya cuma bisa bilang sayonara. Selamat berpisah trotoar yang dipakai untuk lewat motor-motor nggak sabaran, selamat berpisah orang-orang yang suka ngeludah di sembarang tempat, yang suka jalan lelet di jembatan penyeberangan yang sempit, jalanan menuju kosan yang penuh tai kucing dan banjir saat musim hujan, aa burjo yang sering nganterin mie goreng malem-malem, orang yang dulu pernah hampir ngejambret saya di deket kosan, abang-abang ojek di ujung gang yang ramah-ramah, semua yang pernah saya temui di kota ini, sampai jumpa lagi. Semoga Jakarta akanakan selalu bertambah baik dan jadi ibu kota yang dibanggakan.
“Jakarta itu ibarat bad boy yang menantang untuk ditaklukkan, dan Jogja ibarat mantan yang selalu ngajak balikan.”
(lupa quotes siapa dan baca dimana)

