120 Kilometer Jilid Ketiga, Menuju Rumah
| Mas, gua mau pantai ini. Beliin atau gua tembak lu! - namanya juga perempuan. |
1 Januari 2016, hari yang mengantar kami menuju ke Rumah, untuk perayaan tahun baru yang sengaja kami tunda beberapa jam.
Berdua saja, perjalanan kali ini diawali dengan sedikit cemas karena mendung tampak menggantung. Maklum, tahun baru, kata orang hari pertama di tahun baru selalu diwarnai dengan hujan. Beruntung hari ini kami berprinsip "selow wae, biar lambat asal selamat", alias tidak terburu-buru, dan jadilah kami sempat berteduh di emperan toko ketika hujan deras mengguyur Jogja sebelum kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan jas hujan.
Hari ini adalah perjalanan saya dan dia ke Rumah untuk ketiga kalinya. Tentu saja sudah banyak yang berbeda. Selain obrolan dan tawa yang seakan tidak pernah berhenti mengalir, kekakuan yang sudah mencair, dan tentu saja saling cibir. Terbukti memang, waktu dapat mengubah segalanya.
Perjalanan menuju Rumah, sungguh menjadi pelepas penat sekaligus hiburan singkat terutama bagi saya yang sehari-hari bergelut dengan layar laptop, schedule social media, insight dan facebook. Kiri kanan tumbuhan hijau membentang, hasil dari keluhan-keluhan manusia yang muncul saat hujan datang. Udara segar, meski hari itu cukup banyak kendaraan yang baru turun, dan yang terpenting tidak ada papan iklan atau billboard raksasa yang mengotori pandangan, Jogja perlu mempertahankan daerah ini sebanyaknya, selama mungkin. Saling menertawakan tingkah lucu di hari-hari yang sudah lalu, kecanggungan yang sudah berlalu. Ya, terkadang perjalanan memang bukan perkara kemana, tapi dengan siapa kita pergi.
Sebelumnya, kalian perlu tahu. Apa yang disebutnya sebagai Rumah. Bagi anak alam sepertinya, semua pantai yang pernah didatanginya adalah Rumah. Saya pernah bertanya, kenapa Rumah? Karena suasananya tenang, adem, seperti di rumah. Belakangan saya setuju, karena Rumah adalah tempat di mana hati kita berada, atau lebih deskriptif lagi, setelah semua perjalanan ini, home is where You are. Iye, you-nya itu kamu.
Hari itu, Rumah kedatangan banyak tamu yang semalam menginap untuk menyambut kedatangan tahun baru. Tandanya kami harus berbagi spot favorit dengan orang-orang tidak dikenal yang dengan cerdasnya meninggalkan sampah-sampah sisa pesta mereka malam sebelumnya. Kalau sudah begini, keinginan untuk punya pantai sendiri jadi makin besar lho, serius. If i could i would lah.
| Anaknya posesif, sedikit tidak ikhlas karna hari itu Rumah dikunjungi banyak orang. |
Bukan tentang momen tahun baru yang membuat kunjungan ke Rumah kali ini spesial, bukan karena saya sudah lebih mahir memasang tenda dan bergerak lebih cepat dari dia, bukan karena di kunjungan kali ini saya sempat bermain air dan berbasah ria. Bukan juga tentang musim ulat bergelantungan yang sepanjang jalan kami temui, bukan tentang jalan menuju ke Rumah yang sudah jauh lebih baik, atau tentang keberadaan WC di parkiran Rumah yang membuat saya tenang, tapi tentang perasaan yang muncul selama kami berdua menuju Rumah, berada di Rumah dan pulang meninggalkan Rumah.
Ada kelegaan karena saat itu saya tidak lagi meraba-raba dan telah memilih untuk menetapkan hati pada si anak alam yang mengajak saya ke Rumah ini. Ada ketenangan karena saya tahu saya tidak perlu lagi malu-malu dan menjaga gengsi di depannya (padahal sejak perjalanan ke Rumah yang pertama, saya tapa malu menghabiskan dua bungkus nasi padang di depannya), dan saya bisa menjadi diri sendiri sekonyol apapun itu. Ada kebahagiaan saat saya dan dia bisa dengan lepasnya selfie berdua tanpa rasa canggung lagi.
Enggan rasanya beranjak meninggalkan Rumah, karena suasana nyaman yang ditimbulkan hari itu benar-benar berbeda. Hingga matahari perlahan mulai bersembunyi, dan tinggal segelintir orang yang bertahan di tempat ini, kami masih sibuk mengabadikan keindahan yang terekam mata, dan membuat jejak yang manis di hati kami masing-masing.
Perjalanan pulang pun rasanya masih istimewa. Setelah mulai terbiasa melihat kilau lampu pada gedung-gedung tinggi baru di Jogja, malam itu saya kembali melihat bintang di langit. Tidak hanya satu dua tapi tak terhitung, menemani kami sepanjang perjalanan pulang, beriringan dengan kelap-kelip lampu kota Jogja yang kami lihat dari ketinggian ini. Bahkan udara yang cukup dingin pun sama sekali tidak mengusik meskipun saya hanya mengenakan celana pendek. Saya terbuai oleh indahnya hari ini.
Terima kasih Tuhan, 120 kilometer ketiga, yang pertama di tahun 2016, menjadi sebuah awal yang baik untuk menjalani apapun yang akan Kau berikan di tahun ini. Terima kasih Bedul untuk 120 kilometer jilid ketiga menuju Rumah yang super pecah.
| Exactly right, home is when i'm with you.
|
