A Sense of Nostalgia
Kunjungan sebulan sekali ke
Asrama Putri untuk menengok adik tercinta bagi saya termasuk kesempatan
istimewa. Selain untuk menemui si bungsu yang tingkah dan tutur katanya selalu
bikin geleng-geleng kepala, ke Muntilan selalu jadi ajang nostalgia. Nostalgia
lho ya, bukan Kelingan Sing mBiyen mBiyen, eh.
Namun hari kemarin (9/3/16), ada yang
sedikit berbeda. Kebetulan dapat ijin dari ibunda pacar untuk menculik anaknya
supaya boleh ikut serta berkunjung ke Muntilan meskipun dirinya masih dalam
masa pemulihan setelah sakit. Kebetulan lagi saya dan dia dulunya sama-sama
bersekolah di Van Lith. Kebetulan lagi kami sebetulnya dulu pernah seatap
walaupun hanya satu tahun dan itu pun tanpa saling mengenal. Kebetulan lagi,
sekarang kami tak hanya saling kenal, malah sudah pacaran, halah.
Memasuki Jalan Pemuda Muntilan, aroma nostalgia sudah mulai tercium. Melewati toko-toko yang masih belum
berubah dari semenjak saat kami masih boleh ‘turun ke bawah’ hanya setiap
Kamis, Sabtu dan Minggu. Bertemu wajah-wajah khas Van Lith yang tanpa kami
perlu tahu namanya, bisa dideteksi dari gaya berpakaian dan berjalannya. Melintas
di depan lapangan PEMDA tempat saya jatuh sewaktu pelajaran olahraga, tempat dia banyak berlatih bola, secara dulunya doi anak timnas bola. Dan
tentunya, melintas di depan mantan sekolah tercinta yang makin tahun
bangunannya makin baik dan terawat.
Sesuai dengan isi sms yang saya
sampaikan ke ibundanya, tujuan pertama kami adalah meminta doa dan restu di makam
Kerkof. Bagi anak-anak Van Lith, makam ini menjadi salah satu tempat wajib
kunjung ketika akan menempuh ujian atau ulangan. Kami biasa berdoa di pusara
Romo Van Lith, ataupun pusara Romo Sandjaya. Saya rasa semua anak Van Lith
pasti tahu istimewanya tempat ini. Sederhana memang, namun rasanya keinginan untuk berdoa berdua di tempat ini kesampaian, bagaikan tabungan untuk nikah sudah terisi setengahnya. Eh ~~
Tak mau rugi, kami pun menyempatkan diri mengambil gambar di depan sekolah. Meskipun tidak saling kenal saat masih sama-sama bersekolah di sini, tapi tanpa sekolah ini kami tentu tidak akan pernah bertemu. Tentu kami tak mau melewatkan kesempatan untuk menjelajah bangunan sekolah yang semakin bagus. Menginjak-injak dan bahkan berfoto di lapangan rumput yang dulu terlarang, melintasi lorong kapel yang hingga kini masih digunakan adik-adik untuk berpacaran, hingga berfoto di depan patung Romo Van Lith.
Sungguh kesempatan nostalgia yang menyenangkan, mengingat bahwa tempat ini punya banyak andil dalam perjalanan kami masing-masing, sampai di hari ini.
Terkadang untuk bahagia memang cukup yang sederhana saja. Romo Van Lith, terima kasih telah mengikat kami.

