Renungan Hari ke-171
Setiap cerita dalam film atau drama
musikal punya kesempatan untuk mengubah akhirnya, dengan seijin sang sutradara
atau penulis naskahnya. Begitu pula hidup kita. Bertemu, berpisah, dan mungkin
dipertemukan kembali dengan orang-orang di masa lalu, atau peristiwa pertemuan
dan perpisahan manapun, semuanya tidak ada yang kebetulan, karena yang
kebetulan hanya ada di film. Dengan detail-detail yang bahkan tak terbayangkan
dalam pemikiran kita sebagai manusia, semuanya telah diatur dengan sempurna.
17 Oktober 2015,
Berangkat dari pertanyaan, “Mbak, kamu itu di Jogja ya?” dari sosok
adik kelas yang pernah kudampingi dalam salah satu program sekolah.
Malamnya sebuah direct message mendarat di akun twitterku.
Malangnya bagi si pengirim, pesan itu baru kubalas sehari setelahnya.
19 Oktober 2015
Pertama kali setelah di sekolah
dekat kaki gunung itu kami pernah hidup dalam satu atap, pesan dari lelaki ini
ada di dalam ponselku. Tak banyak berbeda dengan caranya berkomunikasi denganku
melalui twitter, mengejek selalu
menjadi andalannya. Memanggilku minion lah, mbak ebol lah. Gimana mau naksir
kalau gini caranya.
20 Oktober 2015
Pertemuan singkat di halaman depan
kantorku yang tak sampai setengah jam dengan tujuan utama mengantar pempek
(katanya). Kami hanya bertukar informasi standar seperti, “Kuliah dimana? Sudah lulus? Ngekos atau rumah?” dan pertanyaan level
pertemuan pertama dengan orang asing serta sedikit bercandaan khas almamater
kami dulu. Tidak ada yang istimewa.
Namun siapa yang pernah menyangka, yang
kau butuhkan bukanlah rasa istimewa, tapi sedikit rasa penasaran yang tersisa
dari pertemuan singkat itu, yang kemudian mengantar kami ke pertemuan-pertemuan
berikutnya. Mulai dari sesederhana ajakan makan es krim jam 9 malam, ajakan
makan siang, yang mohon maaf seribu maaf sempat beberapa kali kutolak karena
berbagai alasan. Hingga tibalah kesempatan bagiku untuk menerima ajakannya, bahkan
dengan sedikit unsur senioritas kupaksa dia menemaniku mengantri tiket kereta
di stasiun Lempuyangan.
Sempat kutinggalkan ke luar kota
hampir seminggu lamanya, ternyata intensitas berkomunikasi kami berdua sama
sekali tidak surut. Setelah kepulanganku, untuk pertama kalinya kami makan
malam berdua di salah satu tempat favoritnya yang ternyata favoritku juga (sampai saat ini dia masih mengingat baju apa
yang kupakai malam itu). Kuakui, makan malam pertama kami masih sedikit
kaku, seperti kanebo kering kata dia. Tak banyak bicara, gestur-gestur salah
tingkah masih beberapa kali muncul, bahkan aku sempat hampir menumpahkan nasi
putihku sendiri. Kami yang awalnya berencana lanjut ke Jazz Mben Senen, dipaksa
pulang olehnya karena memang malam itu kondisi kesehatanku kurang baik.
Siapa juga
yang membayangkan bahwa pertemuan kami tidak berhenti di situ saja. Dalam
hitungan hari, minggu dan bulan, komunikasi tidak pernah putus pun satu hari
saja. Dia mulai menempatkanku pada posisi lebih-dari-teman-dan-kakak-kelas,
karena rutin memberi kabar bahkan tanpa kuminta. Sedikit ngelunjak saat dia
memintaku mengantarkan makanan ketika dirinya sedang sibuk shooting film pendek
yang membuat kami batal ke pantai. Uhuk.
Hari-hari
setelahnya, mulai dari pergi ke pantai berdua saja yang akhirnya terlaksana,
berdendang sambil menyaksikan langsung Payung Teduh atau Sheila On 7, menemaniku
ke Gua Maria saat kepala dan hati ini butuh ketenangan, mengajak ke gereja,
berbagi destinasi kuliner favoritnya, mengenalkanku kepada kawan-kawan baiknya,
hingga membuatku geer saat dia mengajakku untuk bertemu dengan keluarganya.
Sebagai manusia biasa yang
kebetulan dianugerahkan rasa peka sedikit lebih banyak daripada orang lainnya,
bukan salahku jika aku pun terbawa pada jalan cerita yang kami ciptakan
bersama. Pelan tapi pasti, aku pun tahu diri untuk menempatkannya pada posisi
yang lebih spesial setelah pada awalnya kuanggap “adek kelas iseng”.
171 hari sejak pertemuan perdana kami,
bagaikan tangga lagu billboard, kini sosoknya pun ada dalam urutan teratas di
hati. Bukan lagi sekedar hubungan kakak dan adik kelas, kini kami juga partner
makan mie ayam tiga mangkok untuk berdua, fashion
stylist untuk masing-masing, pemburu kuis yang maunya pacaran gratis, rekan
berdebat, tukang pijat, catering, dan.. kurasa begitu banyak peran yang sudah
direbutnya dalam kehidupanku.
Kini terjawab sudah kegelisahanku
sebelum meninggalkan Jakarta. Rasa takut tidak punya lagi teman nongkrong,
partner ngegigs, teman jalan-jalan terhapus sudah. Sudah ada kamu yang bahkan
lebih 24/7 daripada convenience store dekat rumah, mau menemaniku melakukan apa
saja. Termasuk kekurang-kerjaan kita saling berteriak di atas motor saat sedang
berkendara.
Terima kasih ya, kamu yang meski
terkadang menyebalkan tapi tatapan mata, pelukan dan logat-tidak-medhoknya
selalu menjadi tempatku pulang.
Seperti pertemuan kita, kita memang
tidak pernah tahu bagaimana semua akan berakhir. Yang aku tahu, Dia yang di atas sana menuliskan
jalan cerita ini bukan tanpa tujuan. Mari kita nikmati, susah ataupun senang,
jangan lepaskan tanganku
.

