Apr 8, 2016

Setiap cerita dalam film atau drama musikal punya kesempatan untuk mengubah akhirnya, dengan seijin sang sutradara atau penulis naskahnya. Begitu pula hidup kita. Bertemu, berpisah, dan mungkin dipertemukan kembali dengan orang-orang di masa lalu, atau peristiwa pertemuan dan perpisahan manapun, semuanya tidak ada yang kebetulan, karena yang kebetulan hanya ada di film. Dengan detail-detail yang bahkan tak terbayangkan dalam pemikiran kita sebagai manusia, semuanya telah diatur dengan sempurna.

17 Oktober 2015,
Berangkat dari pertanyaan, “Mbak, kamu itu di Jogja ya?” dari sosok adik kelas yang pernah kudampingi dalam salah satu program sekolah.
Malamnya sebuah direct message mendarat di akun twitterku. Malangnya bagi si pengirim, pesan itu baru kubalas sehari setelahnya.
19 Oktober 2015
Pertama kali setelah di sekolah dekat kaki gunung itu kami pernah hidup dalam satu atap, pesan dari lelaki ini ada di dalam ponselku. Tak banyak berbeda dengan caranya berkomunikasi denganku melalui twitter, mengejek selalu menjadi andalannya. Memanggilku minion lah, mbak ebol lah. Gimana mau naksir kalau gini caranya.  
20 Oktober 2015
Pertemuan singkat di halaman depan kantorku yang tak sampai setengah jam dengan tujuan utama mengantar pempek (katanya). Kami hanya bertukar informasi standar seperti, “Kuliah dimana? Sudah lulus? Ngekos atau rumah?” dan pertanyaan level pertemuan pertama dengan orang asing serta sedikit bercandaan khas almamater kami dulu. Tidak ada yang istimewa.

Namun siapa yang pernah menyangka, yang kau butuhkan bukanlah rasa istimewa, tapi sedikit rasa penasaran yang tersisa dari pertemuan singkat itu, yang kemudian mengantar kami ke pertemuan-pertemuan berikutnya. Mulai dari sesederhana ajakan makan es krim jam 9 malam, ajakan makan siang, yang mohon maaf seribu maaf sempat beberapa kali kutolak karena berbagai alasan. Hingga tibalah kesempatan bagiku untuk menerima ajakannya, bahkan dengan sedikit unsur senioritas kupaksa dia menemaniku mengantri tiket kereta di stasiun Lempuyangan.

Sempat kutinggalkan ke luar kota hampir seminggu lamanya, ternyata intensitas berkomunikasi kami berdua sama sekali tidak surut. Setelah kepulanganku, untuk pertama kalinya kami makan malam berdua di salah satu tempat favoritnya yang ternyata favoritku juga (sampai saat ini dia masih mengingat baju apa yang kupakai malam itu). Kuakui, makan malam pertama kami masih sedikit kaku, seperti kanebo kering kata dia. Tak banyak bicara, gestur-gestur salah tingkah masih beberapa kali muncul, bahkan aku sempat hampir menumpahkan nasi putihku sendiri. Kami yang awalnya berencana lanjut ke Jazz Mben Senen, dipaksa pulang olehnya karena memang malam itu kondisi kesehatanku kurang baik.
                                                          
Siapa juga yang membayangkan bahwa pertemuan kami tidak berhenti di situ saja. Dalam hitungan hari, minggu dan bulan, komunikasi tidak pernah putus pun satu hari saja. Dia mulai menempatkanku pada posisi lebih-dari-teman-dan-kakak-kelas, karena rutin memberi kabar bahkan tanpa kuminta. Sedikit ngelunjak saat dia memintaku mengantarkan makanan ketika dirinya sedang sibuk shooting film pendek yang membuat kami batal ke pantai. Uhuk.
Hari-hari setelahnya, mulai dari pergi ke pantai berdua saja yang akhirnya terlaksana, berdendang sambil menyaksikan langsung Payung Teduh atau Sheila On 7, menemaniku ke Gua Maria saat kepala dan hati ini butuh ketenangan, mengajak ke gereja, berbagi destinasi kuliner favoritnya, mengenalkanku kepada kawan-kawan baiknya, hingga membuatku geer saat dia mengajakku untuk bertemu dengan keluarganya. 

Sebagai manusia biasa yang kebetulan dianugerahkan rasa peka sedikit lebih banyak daripada orang lainnya, bukan salahku jika aku pun terbawa pada jalan cerita yang kami ciptakan bersama. Pelan tapi pasti, aku pun tahu diri untuk menempatkannya pada posisi yang lebih spesial setelah pada awalnya kuanggap “adek kelas iseng”.

171 hari sejak pertemuan perdana kami, bagaikan tangga lagu billboard, kini sosoknya pun ada dalam urutan teratas di hati. Bukan lagi sekedar hubungan kakak dan adik kelas, kini kami juga partner makan mie ayam tiga mangkok untuk berdua, fashion stylist untuk masing-masing, pemburu kuis yang maunya pacaran gratis, rekan berdebat, tukang pijat, catering, dan.. kurasa begitu banyak peran yang sudah direbutnya dalam kehidupanku. 

Kini terjawab sudah kegelisahanku sebelum meninggalkan Jakarta. Rasa takut tidak punya lagi teman nongkrong, partner ngegigs, teman jalan-jalan terhapus sudah. Sudah ada kamu yang bahkan lebih 24/7 daripada convenience store dekat rumah, mau menemaniku melakukan apa saja. Termasuk kekurang-kerjaan kita saling berteriak di atas motor saat sedang berkendara.
Terima kasih ya, kamu yang meski terkadang menyebalkan tapi tatapan mata, pelukan dan logat-tidak-medhoknya selalu menjadi tempatku pulang. 

Seperti pertemuan kita, kita memang tidak pernah tahu bagaimana semua akan berakhir. Yang aku tahu, Dia yang di atas sana menuliskan jalan cerita ini bukan tanpa tujuan. Mari kita nikmati, susah ataupun senang, jangan lepaskan tanganku
.

what should not be forgotten . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates