Aug 3, 2016

Mudik (versi saya) – pergi sekeluarga menuju kampung halaman, menempuh kemacetan berjam-jam, menggunakan kendaraan pribadi dengan barang bawaan yang mirip pindahan, ada koper, ada kardus, ada hasil kebon, bawa bekal, rempong, Indonesia banget, tapi seru. 

Walaupun simple dan aneh, agak sulit sebenernya mewujudkan cita-cita yang satu ini, apalagi nenek dua-duanya cuma berjarak 1km dari rumah orang tua. Mungkin, secara tidak sadar selama 3 tahun terakhir (semenjak nenek ibu pindah dari Magelang ke Jogja), saya sering berangan-angan supaya suatu hari bisa merasakan mudik (lagi).

Kata orang, jatuh cinta membuat kita jadi berani menempuh risiko. Seperti patjar yang memberanikan diri minta ijin mami papi untuk mengajak saya mudik ke Banyuwangi. Cita-citanya sederhana, supaya saya yang penasaran ini bisa tahu mudik yang sebenar-benarnya itu rasanya gimana. Cieeee rela berkorban banget calon bapak kepala rumah tangga ini ~~~~

Awalnya agak bingung, ini diajak mudik karena pacar yang merengek ke ortunya, karena orang tua pacar pengen mengenal saya lebih dekat (geer), atau memang karena di rumah neneknya kekurangan tenaga kerja jadi saya diajak untuk ikut bantu-bantu? (kidding). Finally, setelah melewati proses perijininan yang tumben agak ribet dari kanjeng mami, ijin ikut mudik di-ACC dengan catatan tidak boleh bolos kerja, yang artinya saya harus berangkat sendiri naik kereta api karena pacar dan keluarga berangkat naik mobil di hari terakhir saya kerja. 

Kalo nggak cinta-cinta banget, mungkin saya nggak mau lho menempuh 13 jam perjalanan seorang diri dengan kereta ekonomi. Sempet kelaparan, sempet mati gaya karena novel bawaan udah selesai dibaca dalam dua jam, dan diakhiri dengan pusing berat dan sedikit masuk angin tapi langsung hilang ketika dijemput pacar dan adek-adeknya di stasiun Kalisetail, dibikinin teh anget sama calon ibu  mertua (eh), dan makan rawon masakan ibunya pacar (malu-maluin, kata ibu saya). 


Mau nangis bahagia pas denger Stasiun ini disebut, akhirnya kram pantat 13 jam berakhir sudah.

Malam pertama sebelum tidur, dipesenin sama adeknya pacar, “Mbak, besok yang bangun pagi cuma mbak sendiri ya. Kan mau ujian masak.” Bercanda sih, tapi tau kan kalo di setiap bercandaan ada unsur seriusnya? Untungnya malam itu saya masih bisa tidur nyenyak walaupun sempet terpikir gimana caranya ngelesnya kalau besok beneran disuruh masak seorang diri. Paginya, memang sih saya diterjunkan ke dapur, walau masih mendapat bimbingan dari ibu, tante, uti, dan dapet dorongan mental dengan pendampingan dari adeknya pacar (secara dia lebih jago masak daripada saya). Jari saya mungkin saja lancar menari-nari di atas keyboard, tapi gaptek urusan dapur. Seriously.  

Hari-hari berikutnya, asli nggak nyesel banget ikut mudik ke Banyuwangi ini karena ngerasain kegiatan yang nggak pernah saya alami sebelumnya, secara ke Banyuwangi aja baru kali ini. Mulai dari ke kebun jeruk, ikut manen jeruk, keliling ke tetangga buat halal bi halal, mandi di sungai turun ke sawah dan menggiring kerbau ke kandang (oke yang ini bercanda). 


"Tante, pura-pura nggak lihat ketawa tapi jangan lupa senyum ya", saya sok-sokan ngajarin ibunya patjar.





Tak lupa sebagai sepasang (nantinya) suami istri (doakan saja) kami berdua latihan honeymoon dengan memisahkan diri dari rombongan dan jalan-jalan berdua saja.Tenang, kami nggak ngapa-ngapain. Tujuan sebenrnya cuma nambahin stock foto berdua di pantai yang berbeda. Oh by the way,  Pulau Merah adalah pantai kelima setelah Ngedan, Kesirat, Mbutuh dan Mbirit yang saya datangi bersama Rere (itu panggilan patjar kalau saya lagi gemas-gemasnya). Yey nambah panjang daftar pantai berduanya!

Duh muke lo, untung dah laku mas.

Sewaktu saya masih berseragam sekolah, keluarga saya punya tradisi bagi-bagi salam tempel saat Natalan, karena kami tidak merayakan Lebaran. Tapi kali ini, terharu, karena saya diberi salam tempel juga oleh uti (eyangnya pacar), bahkan sambil cubit-cubit gemes pipi waktu saya bilang terima kasih, makin menjadi-jadi lah geernya. 

Sebagai pacar yang solehah saya juga berusaha pedekate dan mendekatkan diri kepada saudara-saudara pacar. Nggak susah, karena saudara-saudara pacar mungkin juga melihat saya anaknya asik (untuk diledekin), jadilah mereka bikin saya lupa umur dengan gulingan-gulingan bareng setiap malam sebelum tidur, main hape bareng, kruntelan bareng. Kurang lebih sama seperti memperlakukan sepupu-sepupu saya sendiri.

Yang agak sedikit failed adalah, usaha saya untuk terlihat keren di depan adek-adek pacar sebagai anggota #BelajarJalanjalan yang udah sering dolan, gagal begitu saja lantaran hujan yang mengguyur saat tracking sepulang dari Pantai Wedi Ireng. Tanpa bekal sandal gunung eiger yang agak kebesaran itu, ternyata kaki saya berubah jadi kaki manja menye-menye yang bikin saya lebih dari 5x jatuh terpeleset saat tracking pulang. Tapi saya yakin, selain karena hujan dan sandal, ini pasti juga pengaruh faktor u yang udah nggak bisa menipu lagi. Untung jatuh bangunnya sesudah sessi foto, jadi ga nampaklah ekspresi malu ini.



Syaratnya jadi kakak ipar, apa sih adek-adek?




Ada liburan, ada saatnya balik ke kenyataan. Sampailah kami di hari terakhir di mana harus berpamitan untuk meneruskan perjalanan ke barat ikut jejak Tom Sam Cong, kembali kepada hidup yang sehari-hari diisi nongkrongin laptop dan mantengin sosmed. Nggak sedih saya mah, karena yakin banget jika Tuhan nggak mau mematahkan hati saya, tahun depan bakalan balik ke Banyuwangi lagi, mudah-mudahan dengan kemampuan memasak yang sudah lebih dari cukup untuk bekal sebelum diperistri #ehgimana. 

Terima kasih mas patjar, meskipun pake berantem-berantem lucu karena nggak bisa berangkat bareng, kesampaian juga ikut mudik bareng keluargamu. Melted and more than happy to be a part of your family.

See you whenn I see you.





what should not be forgotten . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates