My Dear Ohana
Dalam hidup, kita seringkali
menghindari hal-hal yang menyedihkan. Mereka yang bertahun-tahun bekerja keras
untuk bisa membeli rumah mewah impian dan hal-hal eksklusif lainnya, pasti
takut kehilangan itu semua. Jiwa kesepian yang bertahun-tahun menunggu
kedatangan pasangan hidup, pasti sangat takut dikecewakan, atau yang lebih
buruk, ditinggalkan. Tak pernah ada yang menyangkal, kehilangan memang sesuatu
yang amat menakutkan, beberapa orang menjadikannya ketakutan terbesar. Dan
memang, kehilangan dapat terasa sangat menyakitkan, saat hal itu terjadi.
Tapi jika kau pernah
mengalaminya, jauh setelah kehilangan yang kau nyatakan sebagai rasa yang amat
menyakitkan itu, pernahkah kau sadari bahwa sakitnya, yang meninggalkan bekas
pada hati kita entah sementara atau selamanya, akan mengajarkan kita banyak hal
di kemudian hari, hanya jika kita mampu bertahan? Begitu banyak, yang membuat
kita menjadi manusia yang lebih dewasa, meski mungkin masih dalam usia yang
sama, namun dengan pemahaman akan segala hal yang jauh lebih kaya.
Saya sendiri pernah mengalaminya,
saat salah satu tante kesayangan saya meninggal, belum terlalu lama, kurang
lebih satu setengah tahun yang lalu. Usianya masih belia, hanya terpaut empat
tahun dari saya, baru 28 tahun saat Tuhan mencukupkan tugasnya di dunia, meski
mungkin asih banyak mimpi yang belum sempat ia capai. Tingkah laku, hobi,
kegemaran dan sikapnya, sebelas dua belas dengan saya. Tidak heran, saya yang
tidak punya kakak perempuan menjadi sangat dekat dengannya. Dalam beberapa
kesempatan saya dan dia pergi berdua saja berjalan-jalan, memasuki satu demi
satu toko pakaian, terkadang nonton bioskop atau pun hanya sekedar berdiam di
rumah sambil menemani saya mencoba baju-bajunya dan dia sibuk merias wajah
saya, hanya untuk iseng, sembari menjaga kedua bayinya. Atau terkadang
mengunjungi obyek-obyek wisata kesukaan anak muda, bersama gerombolan sepupu
yang lainnya. Saat saya merantau, dia rutin mengontak saya, menanyakan kabar,
keadaan kantor, kesehatan, bagaimana hubungan saya dengan pacar (saat itu).
Saya sungguh merasa dekat dengannya, terlebih beberapa orang mengatakan wajah
kami cukup mirip, meski itu tak ada kaitannya.
Satu setengah tahun setelah kepergiannya,
saat sedang berada di rumahnya untuk menemani kedua anaknya (salah satu
kegiatan yang sering sekali saya lakukan), saya masih sering merasa Tante hanya
pergi sebentar, dan dia menitipkan kedua anaknya pada saya. Sebentar lagi dia
akan pulang, nanti tante pulang, begitu saya ulang-ulang dalam hati. Saya baru
tersadar saat kembali melihat kedua anaknya, yang teramat jarang menyebut kata “ibu”,
bahwa tante tidak akan kembali.
Di bulan-bulan pertama kehilangan
itu, setiap melihat kedua adik kecil saya ini, saya masih ingat betul bagaimana
rasa sedih yang teramat sangat itu saya rasakan di hari kepergiannya. Saya ingin
marah, saya kecewa karena saya tahu Tante tidak akan kembali, dan itu begitu
menyakitkan sehingga tak jarang saya menangis lagi. Tapi seiring berjalannya
waktu, dengan proses yang perlahan, setiap kali teringat pada tante, saya mampu
menjadi jauh lebih tenang. Dalam hati saya mencoba melegakan diri sendiri,
bahwa tante sudah bahagia, bahkan selalu menjaga dan menemani kami semua,
terutama kedua anaknya, kapan pun, dimanapun.
Yang pasti, setelah kepergiannya,
satu hal dulu saya saya sadari namun saya abaikan karena terlalu memikirkan
diri sendiri, kini menjadi pegangan saya. Keluarga. Ohana. Ohana means family,
family means nobody gets left behind or forgotten.
Bukan omong kosong. Setelah
seluruh pergulatan yang keluarga alami, setelah berbagai kehilangan yang
menyakitkan, serta kejadian-kejadian yang amat memukul kami semua, keluarga
adalah segalanya. Tempat berpulang untuk masalah sesepela hingga sebesar apapun
yang saya dan kami semua alami. Keluarga tidak akan pernah membiarkan kita
menanggung beban yang teramat berat seorang diri, entah dengan cara ajaib apapun
yang terkadang tidak kita mengerti, mereka selalu ada. Lewat sapaan hangat di
grup whatsapp, lewat candaan-candaan saat kami bertemu langsung, lewat
diskusi-diskusi keluarga setiap saat hal buruk terjadi, lewat doa-doa meski
dipanjatkan dengan ritual yang berbeda, lewat peluk dan cium setiap saat kami
bertemu dan berpisah kembali, mereka terus ada.
Bersama dua adik kecil dan para sepupu. Kami semua kehilangan, namun memilih untuk bertahan. |
Untuk alasan itulah, tak lama
setelah kepergian tante, saya memilih untuk mengkhianati Jakarta. Bukan untuk
melepaskan mimpi-mimpi saya menjadi sukses di ibu kota, bukan karena menyerah
pada kekejaman dan kerasnya tempaan di sana. Saya bahagia di sana, tapi saya tidak bisa bahagia seorang diri saja. Saya harus menyelaraskan antara
mimpi pribadi saya, dengan rasa hangat dan nyaman berada dekat dengan keluarga,
dan khususnya memenuhi pesan mendiang tante untuk ikut menjaga kedua adik kecil
saya, yang kini sudah semakin besar dan pintar, walau tanpa sosok ibu. Beberapa orang
sempat bilang, “Mereka bukan tanggung jawabmu, tak semestinya kamu berkorban.”
Tapi entah bagaimana, saya sama sekali tidak merasa mengorbankan apapun. Hidup
hedon karena tidak punya hiburan? Saya bersyukur bisa meninggalkannya. Gaji
besar tiap bulan? Sekarang saya bahkan bisa menabung lebih banyak dengan gaji
yang lebih sedikit.
Kehilangan itu telah digantikan
dengan banyak sekali pengalaman yang mendewasakan. Tidak semua orang diberi
kesempatan untuk “belajar merawat dan mengasuh anak” sebelum waktunya. Tapi
saya sudah, melalui kedua adik kecil saya. Sehingga saya yakin, saatnya tiba
untuk saya memiliki anak sendiri, saya sudah terbiasa, dan dapat menjalankan
tugas sebagai ibu dengan lebih baik. Merawat , menemani dan memanjakan eyang di
hari tuanya? Dulu saya ogah-ogahan, hanya untuk menggandengnya berjalan kaki
dari mobil sampai ke dalam gereja. Tapi sekarang, setiap siang saya
mengunjunginya. Mendengarkan ceritanya yang kerap diulang-ulang, menjawab
pertanyaannya yang sama setiap harinya karena beliau lupa, membelikan makanan
yang beliau inginkan, meski tidak dihabiskan dengan alasan sudah kenyang, dan
tidak lupa mencium kedua pipinya dengan gemas saat berpamitan.
Saya berusaha semampunya, untuk
selalu ada bagia siapapun anggota keluarga yang membutuhkan. Walau hanya
sepasang telinga untuk mendengarkan, walau hanya sebungkus nasi goreng babi
kesukaan, walau hanya 30 menit setiap jam makan siang, atau sesederhana dengan
tidak marah-marah di rumah dan lebih helpful bagi seluruh anggota keluarga,
sampai dengan menyapa adik-adik sepupu yang jauh dari Jogja. Saya bahagia masih
punya waktu, saya bersyukur disadarkan tanpa harus merasakan kehilangan (lagi)
terlebih dahulu. Tidak melulu gaji besar yang membuatmu bahagia, tapi membahagiakan mereka yang sejak awal selalu ada bersamamu dengan menyediakan waktu, nyatanya mampu mendatangkan kebahagiaan yang lebih besar. Tidak ada yang saya sesali dengan memilih menemani keluarga besar saya ini. Karena saya tak lebih dari seorang anak perempuan biasa tanpa pengaruh dan kehadiran mereka.
Semoga Tuhan selalu melindungi
keluarga ini, sekarang dan nanti apapun yang terjadi.