December Note’s – A short flashback to the very beginning
Malam dan dingin, bulan keduabelas
di 2016. Aku sedang menyesap kopi yang sengaja kuracik untuk menemani lembur
kali itu. Brief akhir tahun, ritual pekerja advertising agency. Bukannya membuka
lembar penugasan yang seharusnya kupelajari kembali untuk menambah beberapa
poin di materi presentasi, aku malahan teringat sosokmu dua belas bulan yang
lalu. Saat semua di antara kita masih abu-abu.
Kau dan aku kala itu, hari-hari
setelah pertemuan di halaman parkir kantorku, kerap bertemu dan tak putus
berkomunikasi. Banyak kode-kode yang dilempar ke udara, tapi tak pernah
kutangkap arah dan tujuannya. Biar lalu saja. Jangan heran, jika saat itu aku sering menarik
ulur umpanmu. Sering menolak ajakan makan malammu, atau beralasan yang
menurutmu dipaksakan supaya tidak perlu menuruti undangan keluar malam darimu.
Wajar rasanya jika aku mencoba untuk berhati-hati. Lagipula aku tak
se-ekstrovert itu untuk menerima ajakan
pergi berdua dari orang yang pergi beramai-ramai saja belum pernah. Aku memang,
seribet itu nyatanya.
Saat itu kupikir, di usiamu yang
dua tahun lebih muda dariku, kau hanya sedang coba-coba saja. Jika gayung
bersambut, ya bersyukur, jika tidak, maka dengan mudahnya kau akan mendapat
penggantiku, begitu pikirku saat itu. Lagipula, aku juga tak terlalu percaya
dengan ucapanmu, “sedang tak dekat dengan siapa-siapa”. Sungguh, aku tidak
mempercayainya saat itu. Aku juga sedang dalam fase tidak terlalu memikirkan
pasangan dan berniat membiarkan semuanya berjalan santai saja, sembari
menikmati kepulanganku ke kota ini di sisa tahun 2015.
Benar katamu, aku memang beberapa
kali merespon umpan dan kode yang kau lemparkan, tapi percayalah, hal itu
kulakukan tanpa niat apapun. Aku hanya merasa mengenal lawan bicaraku, karena
pernah satu almamater maka satu frekuensi bercanda, pikirku. Biasa saja untuk saling
melempar lelucon gombal, paling juga begitu pula caramu bercanda dengan lawan
jenis, tebakku juga.
Aku mulai bertanya, saat kau
semakin konsisten terus menghubungi dari hari ke hari. Kau ini ingin apa? Meski
kadang aku tak merespon, meski kadang aku menjawab seadanya. Anehnya, kau
seakan tak peduli responku, dan terus mengulangi menghubungi keesokan harinya. Nothing to loose, begitu kesannya. Jika pembicaran
itu dibaca ulang, aku sendiri cukup heran. Bagaimana bisa percakapan kita tak
pernah putus sejak hari pertemuan itu. Dan bagaimana bisa percakapan kita bisa
begitu akrab untuk dua orang yang belum pernah bercengkerama sebelumnya meski
sudah pernah bertemu delapan tahun yang lalu? Aneh. Tapi jika boleh
dianalogikan dengan sesuatu yang tidak romantis, kita seperti bunyi klik di
helm. Terjadi begitu saja, dengan cepatnya. Jika itu adalah sebuah sinetron,
maka jalan cerita menanjak ke arah klimaks dengan begitu saja, tanpa si pemain
pernah menyadari naskah yang dipegang sedari awal.
Yang lucu lagi, di saat aku sudah
mulai banyak memasukkan unsur perasaan (tolong jangan gunakan kata baper) dalam
intensitas obrolan dan pertemuan kita, kau tak juga ungkapkan sesuatu dengan gamblang.
Tapi menurut pengakuanmu, saat kau bertanya serius untuk memacariku di konser
Sheila On 7 yang pertama kita tonton bersama, aku menjawabnya dengan bercandaan
saja. Sedih katamu. Ah tapi aku tak merasa bersalah sih, toh sebelumnya kau
sendiri yang membuatku tidak bisa membedakan bercandaan dan kata-kata
sungguhan.
Dua belas bulan berlalu sejak
masa abu-abu, hingga kini kita tak pernah tahu sejak kapan zona abu-abu menjadi
jelas dengan perubahan status di antara kau dan aku? Ah, kita tak punya tanggal
anniversary seperti pasangan lain pada umumnya. Kita juga tak punya kebiasaan
dinner romantis atau melakukan hal-hal manis. Sejauh ingatanku kita lebih
sering saling mempermalukan diri sendiri saat sedang berdua saja. Sambil
melempar topic-topik random yang tak pernah kubagi dengan orang lain selain
dirimu. Menanyakan apa saja tentang diri masing-masing tanpa takut marah atau
malu, jika boleh jujur, nyaman sekali punya partner seperti dirimu. Sampai hari
ini, rasanya masih selalu lucu membicarakan pertemuan pertama denganmu. Walau
kadang tanpa sadar aku dan kau juga kerap saling cemburu, pada teman,
pekerjaan, atau kesibukan lain yang tidak dimiliki bersama. Walau terkadang,
aku masih sering sulit menebak-nebak isi kepala dan jalan pikiranmu sebagai
seorang pria Leo, tapi dua belas bulan ke belakang kurasa cukuplah menjadi
bekal untuk melanjutkan perjalanan ini lagi. Mempelajari dirimu, tak akan cukup bahkan dengan menghabiskan seumur hidup kurasa.
Desember tahun lalu, kau menjadi
kado natalku. Desember tahun ini, kau masih menjadi kado natalku. Desember
tahun lalu, aku tak menyangka akan menuliskan cerita tentangmu di sini sebagai bagian
refleksi dua belas bulan perjalananku. Jika Natal-natal sebelumnya aku terus meminta kado yang baru, untuk kali ini Santa, aku ingin satu kado yang ini saja, di setiap natalku.