Dec 6, 2016

Malam dan dingin, bulan keduabelas di 2016. Aku sedang menyesap kopi yang sengaja kuracik untuk menemani lembur kali itu. Brief akhir tahun, ritual pekerja advertising agency. Bukannya membuka lembar penugasan yang seharusnya kupelajari kembali untuk menambah beberapa poin di materi presentasi, aku malahan teringat sosokmu dua belas bulan yang lalu. Saat semua di antara kita masih abu-abu. 

Kau dan aku kala itu, hari-hari setelah pertemuan di halaman parkir kantorku, kerap bertemu dan tak putus berkomunikasi. Banyak kode-kode yang dilempar ke udara, tapi tak pernah kutangkap arah dan tujuannya. Biar lalu saja.  Jangan heran, jika saat itu aku sering menarik ulur umpanmu. Sering menolak ajakan makan malammu, atau beralasan yang menurutmu dipaksakan supaya tidak perlu menuruti undangan keluar malam darimu. Wajar rasanya jika aku mencoba untuk berhati-hati. Lagipula aku tak se-ekstrovert  itu untuk menerima ajakan pergi berdua dari orang yang pergi beramai-ramai saja belum pernah. Aku memang, seribet itu nyatanya. 

Saat itu kupikir, di usiamu yang dua tahun lebih muda dariku, kau hanya sedang coba-coba saja. Jika gayung bersambut, ya bersyukur, jika tidak, maka dengan mudahnya kau akan mendapat penggantiku, begitu pikirku saat itu. Lagipula, aku juga tak terlalu percaya dengan ucapanmu, “sedang tak dekat dengan siapa-siapa”. Sungguh, aku tidak mempercayainya saat itu. Aku juga sedang dalam fase tidak terlalu memikirkan pasangan dan berniat membiarkan semuanya berjalan santai saja, sembari menikmati kepulanganku ke kota ini di sisa tahun 2015. 

Benar katamu, aku memang beberapa kali merespon umpan dan kode yang kau lemparkan, tapi percayalah, hal itu kulakukan tanpa niat apapun. Aku hanya merasa mengenal lawan bicaraku, karena pernah satu almamater maka satu frekuensi bercanda, pikirku. Biasa saja untuk saling melempar lelucon gombal, paling juga begitu pula caramu bercanda dengan lawan jenis, tebakku juga.

Aku mulai bertanya, saat kau semakin konsisten terus menghubungi dari hari ke hari. Kau ini ingin apa? Meski kadang aku tak merespon, meski kadang aku menjawab seadanya. Anehnya, kau seakan tak peduli responku, dan terus mengulangi menghubungi keesokan harinya. Nothing to loose, begitu kesannya. Jika pembicaran itu dibaca ulang, aku sendiri cukup heran. Bagaimana bisa percakapan kita tak pernah putus sejak hari pertemuan itu. Dan bagaimana bisa percakapan kita bisa begitu akrab untuk dua orang yang belum pernah bercengkerama sebelumnya meski sudah pernah bertemu delapan tahun yang lalu? Aneh. Tapi jika boleh dianalogikan dengan sesuatu yang tidak romantis, kita seperti bunyi klik di helm. Terjadi begitu saja, dengan cepatnya. Jika itu adalah sebuah sinetron, maka jalan cerita menanjak ke arah klimaks dengan begitu saja, tanpa si pemain pernah menyadari naskah yang dipegang sedari awal. 

Yang lucu lagi, di saat aku sudah mulai banyak memasukkan unsur perasaan (tolong jangan gunakan kata baper) dalam intensitas obrolan dan pertemuan kita, kau tak juga ungkapkan sesuatu dengan gamblang. Tapi menurut pengakuanmu, saat kau bertanya serius untuk memacariku di konser Sheila On 7 yang pertama kita tonton bersama, aku menjawabnya dengan bercandaan saja. Sedih katamu. Ah tapi aku tak merasa bersalah sih, toh sebelumnya kau sendiri yang membuatku tidak bisa membedakan bercandaan dan kata-kata sungguhan. 

Dua belas bulan berlalu sejak masa abu-abu, hingga kini kita tak pernah tahu sejak kapan zona abu-abu menjadi jelas dengan perubahan status di antara kau dan aku? Ah, kita tak punya tanggal anniversary seperti pasangan lain pada umumnya. Kita juga tak punya kebiasaan dinner romantis atau melakukan hal-hal manis. Sejauh ingatanku kita lebih sering saling mempermalukan diri sendiri saat sedang berdua saja. Sambil melempar topic-topik random yang tak pernah kubagi dengan orang lain selain dirimu. Menanyakan apa saja tentang diri masing-masing tanpa takut marah atau malu, jika boleh jujur, nyaman sekali punya partner seperti dirimu. Sampai hari ini, rasanya masih selalu lucu membicarakan pertemuan pertama denganmu. Walau kadang tanpa sadar aku dan kau juga kerap saling cemburu, pada teman, pekerjaan, atau kesibukan lain yang tidak dimiliki bersama. Walau terkadang, aku masih sering sulit menebak-nebak isi kepala dan jalan pikiranmu sebagai seorang pria Leo, tapi dua belas bulan ke belakang kurasa cukuplah menjadi bekal untuk melanjutkan perjalanan ini lagi. Mempelajari dirimu, tak akan cukup bahkan dengan menghabiskan seumur hidup kurasa.

Desember tahun lalu, kau menjadi kado natalku. Desember tahun ini, kau masih menjadi kado natalku. Desember tahun lalu, aku tak menyangka akan menuliskan cerita tentangmu di sini sebagai bagian refleksi dua belas bulan perjalananku. Jika Natal-natal sebelumnya aku terus meminta kado yang baru, untuk kali ini Santa, aku ingin satu kado yang ini saja, di setiap natalku.


what should not be forgotten . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates