The Beginning - Aku, Mereka dan Prau (1)
Waktu
SMA,
saya pernah punya cita-cita naik gunung bareng beberapa orang teman.
Jaman
itu, fisik masih kuat-kuatnya karena gemblengan asrama. Kempol masih perkasa
(iya sih, sekarang pun masih methekol, katanya) dan yang pasti nggak takut
kulit menghitam. Tapi ya gitu, pada akhirnya cuma jadi sebatas rencana dan
keinginan yang keburu terpendam dengan kelulusan dan perpisahan.
Itu
dulu, banget. Kira-kira
9 tahun yang lalu karena saya lulus SMA tahun 2008.
Cita-cita
ini juga sempat terkubur dalam-dalam setelah jiper karena nonton film
nonton Everest yang menceritakan beberapa orang dalam team pendakian meninggal
dunia di atas gunung gegara badai salju. Waktu itu masih di Jakarta, keluar
dari studio langsung ngomong ke teman nonton "Daripada kamu ajakin aku
naik gunung, mendingan ajak aku muterin mall berburu midnight
sale."
Itu
juga dulu.
Jangan lupa bahwa yang paling konsisten dari sifat manusia adalah ketidak-konsistenan-nya. Sehingga beberapa tahun kemudian ketakutan saya berubah lagi jadi keinginan kuat, hanya karena terus-menerus dicekoki kisah naik gunungnya Rere (walaupun dari awal banget dia udah usaha banget ngajakin naik gunung tapi mon maap kayaknya waktu itu belum terdengar bunyi klik). Yang katanya pernah hampir mati disengat lebah hutan, nolongin orang kesamber petir, sepatu kebakar, carrier ilang, diputusin, naksir kakak kelas, eh, ups, too much information. Ada tuh semua di blognya. Bukannya takut, malah jadi penasaran sama sensasinya, emang aneh saya nih. Tambah pula disebutnya golden sunrise di Prau yang katanya bagus, banget. (Coba aja googling kalau ga percaya).
|
Akhirnya,
karena rasa penasaran ini ga bisa lagi dibendung, dan mitosnya Prau itu gunung yang paling pas untuk pendaki pemula, mulai lah sekali dua kali ngerencanain, pake acara batal pula karena ini dan itu.
Tapi jangan lupa, saya dan Rere itu orangnya sama-sama suka impulsif. Apalagi kalau doi sudah bilang "pengen", entah gimana biasanya mestakung dan terjadilah! Dengan beberapa rapat maha penting untuk penentuan tanggal, diketuklah palu bahwa (akhirnya) saya akan jadi naik gunung di tanggal 1 Juni bersama orang-orang istimewa adalah kakak saya, adik saya dan pacar adik saya. Berlima, dengan komposisi dua orang sebagai yang sudah berpengalaman, mengawal kami bertiga yang belum pernah naik gunung, dalam judul "Naik Gunung Bersama Keluarga."
Jumat,
2 Juni 2017
Setelah nyaris batal anggota team yang paling bontot (baca : Galing) mendadak ada kuliah pengganti yang tidak mungkin ditinggalkan, secara IPK dia cemerlang jadi sepertinya cukup sulit membujuknya melakukan hal yang dapat mengganggu kestabilan nilainya, Jumat 2 Juni, kami jadi berangkat juga.
Perasaan
pertama waktu gendong carrier (jarak dari dalam rumah sampai ke bagasi
mobil) "Astaganaga beratnya masyaallaah...", yang cuma
berani dibatin karena saya tahu betul carrier geng cowok-cowok beratnya lebih
aduhai. Ada juga pemikiran-pemikiran sesat macam "Duh kayaknya kebanyakan beli air
nih, kebanyakan bawa bekal nih. Berat banget tas gue apaan yang bisa
ditinggalin ini... cry", yang lagi-lagi semuanya cuma
dipendam dalam hati karena sadar diri bahwa carrier saya masih menduduki
peringkat paling ringan kedua setelah si bontot.
Terakhir
kali ditimbang, carrier saya beratnya 11 kg, carrier Rere hampir 20 kilo,
padahal berat kami cuma terpaut 7 kilo. Yaudah, dengan sedikit terpaksa, plus
sok kuat dan sok asik pura-pura ga memikirkan berat carrier yang harus
digendong nanti, kami berangkat ke Dieng sekitar setengah dua siang. Cuacanya
yang sedikit mendung meninggalkan sedikit perasaan tidak tenang, persis kaya
kalo pamit mau pergi main sama pacar cuma dijawab "Hv fun",
hehe.
***
Memasuki
wilayah Dieng, bukannya membaik cuacanya malah semakin menyeramkan. Langit
makin gelap, selain karena memang sudah malam, sempat hujan pula. Menuju
basecamp Patak Banteng pun kami sempat kebablasan, nggak tanggung-tanggung kebablasannya
5km meski akhirnya kami sampai di basecamp sekitar jam setengah 8 malam dan
disambut udara dingin begitu turun dari mobil, dengan gerimis yang masih
rintik-rintik.
Di
basecamp saat itu hanya ada kami, dan dua rombongan lain. Satu rombongan yang
baru turun, dan satu rombongan yang juga berencana naik. Rere yang memang punya
bakat alami bersosialisasi dengan suasana sekitar langsung cas cis cus. Sambil
menunggu petugas yang mengurus surat ijin pulang tarawih, kami makan dulu. Di
sini, adek saya sudah mulai menunjukkan gelagat-gelagat yang mendatangkan
sedikit kekhawatiran saat dia bilang sakit perut, lalu mulai ribet dengan
pakaian yang dia siapkan sendiri. Mulai dari kaos kaki, jaket, celana, semua
diribetin, untung ribetnya lucu, kalau nggak sepasang sepatu gunung mungkin
udah melayang sih ~
Basecamp
Patak Banteng, 21.20 WIB
Berlima,
di bawah langit malam Dieng, di ketinggian 700M, kami berdoa dan briefing
terakhir dipandu Rere yang malam itu memutuskan menjadi sweeper dan
mempercayakan posisi kapten pada Berli. Setelah memastikan posisi carrier
masing-masing sudah pas, kami mulai melangkah. Jujur, perasaan saya sudah mulai
tidak karuan di titik ini, apalagi tak lama kemudian kami bertemu dengan....
tangga (yang tidak kelihatan ujungnya). Key, not as easy as it
seems. Sesungguhnya tangga ini justru jadi awalan yang nyaris
mematahkan semangat karena membuat dengkul tremor di titik awal. Benar saja,
belum ada 20 anak tangga, adik saya minta berhenti. Pertama,
mungkin dia shock, kedua, posisi carriernya masih belum enak. Kami
berhenti. Berkali-kali Rere bilang, kalau ada yang capek, atau mau berhenti
meskipun baru berapa langkah, bilang.
Menuju
pos satu, jalurnya masih tidak bersahabat. Setelah lolos dari tangga-tangga
yang mendatangkan tremor, kami melewati tangga-tangga (lagi, tapi kali ini dari
tanah) di antara perkebunan. Jalanannya sempit dan masih terasa dingin karena
badan belum berkeringat. Sampai di sini, saya masih sibuk mempertanyakan
keputusan saya ikut naik gunung karena yang terasa hanya : capek dan berat,
atau capek dan dan berat banget, padahal belum apa-apa.
Seperti
di surga saat Rere mengajak kami untuk istirahat sejenak saat ketemu tanah yang
rata dan lumayan luas. "Duh Gusti pundakku ngeluuu..", yang
sepanjang perjalanan cuma dibatin akhirnya mendapat sedikit kelegaan saat
carrier bisa dipisahkan dari pundak barang dua menit. Badan juga udah mulai
berkeringat sampai berani lepas satu lapis jaket, dan kempol sepertinya sudah
menyadari bahwa mungkin memang di sini lah habitatnya. Ibarat motor, mesin saya
udah mulai panas dan siap melaju, tapi sepertinya tidak dengan anggota kami
yang satu itu, yang mulai terbaca gelagat kepayahannya.
Siapakah
dia? Sanggupkah kami sampai di atas?
Eng ing eng...