Jun 18, 2017

Waktu SMA, saya pernah punya cita-cita naik gunung bareng beberapa orang teman. 
Jaman itu, fisik masih kuat-kuatnya karena gemblengan asrama. Kempol masih perkasa (iya sih, sekarang pun masih methekol, katanya) dan yang pasti nggak takut kulit menghitam. Tapi ya gitu, pada akhirnya cuma jadi sebatas rencana dan keinginan yang keburu terpendam dengan kelulusan dan perpisahan.

Courtesy : pexels.com

Itu dulu, banget. Kira-kira 9 tahun yang lalu karena saya lulus SMA tahun 2008.

Cita-cita ini juga sempat terkubur dalam-dalam setelah jiper karena nonton film nonton Everest yang menceritakan beberapa orang dalam team pendakian meninggal dunia di atas gunung gegara badai salju. Waktu itu masih di Jakarta, keluar dari studio langsung ngomong ke teman nonton "Daripada kamu ajakin aku naik gunung, mendingan ajak aku muterin mall berburu midnight sale." 

Itu juga dulu.

Jangan lupa bahwa yang paling konsisten dari sifat manusia adalah ketidak-konsistenan-nya. Sehingga beberapa tahun kemudian ketakutan saya berubah lagi jadi keinginan kuat, hanya karena terus-menerus dicekoki kisah naik gunungnya Rere (walaupun dari awal banget dia udah usaha banget ngajakin naik gunung tapi mon maap kayaknya waktu itu belum terdengar bunyi klik). Yang katanya pernah hampir mati disengat lebah hutan, nolongin orang kesamber petir, sepatu kebakar, carrier ilang, diputusin, naksir kakak kelas, eh, ups, too much information. Ada tuh semua di blognya. Bukannya takut, malah jadi penasaran sama sensasinya, emang aneh saya nih. Tambah pula disebutnya golden sunrise di Prau yang katanya bagus, banget. (Coba aja googling kalau ga percaya). 




kaya gini nih, siapa tahu pada males googling. 




Akhirnya,

karena rasa penasaran ini ga bisa lagi dibendung, dan mitosnya Prau itu gunung  yang paling pas untuk pendaki pemula, mulai lah sekali dua kali ngerencanain, pake acara batal pula karena ini dan itu.

Tapi jangan lupa, saya dan Rere itu orangnya sama-sama suka impulsif. Apalagi kalau doi sudah bilang "pengen", entah gimana biasanya mestakung dan terjadilah! Dengan beberapa rapat maha penting untuk penentuan tanggal, diketuklah palu bahwa (akhirnya) saya akan jadi naik gunung di tanggal 1 Juni bersama orang-orang istimewa adalah kakak saya, adik saya dan pacar adik saya. Berlima, dengan komposisi dua orang sebagai yang sudah berpengalaman, mengawal kami bertiga yang belum pernah naik gunung, dalam judul "Naik Gunung Bersama Keluarga."

Jumat, 2 Juni 2017

Setelah nyaris batal anggota team yang paling bontot (baca : Galing) mendadak  ada kuliah pengganti yang tidak mungkin ditinggalkan, secara IPK dia cemerlang jadi sepertinya cukup sulit membujuknya melakukan hal yang dapat mengganggu kestabilan nilainya, Jumat 2 Juni, kami jadi berangkat juga.

Perasaan pertama waktu gendong carrier (jarak dari dalam rumah sampai ke bagasi mobil) "Astaganaga beratnya masyaallaah...", yang cuma berani dibatin karena saya tahu betul carrier geng cowok-cowok beratnya lebih aduhai. Ada juga pemikiran-pemikiran sesat macam "Duh kayaknya kebanyakan beli air nih, kebanyakan bawa bekal nih. Berat banget tas gue apaan yang bisa ditinggalin ini... cry", yang lagi-lagi semuanya cuma dipendam dalam hati karena sadar diri bahwa carrier saya masih menduduki peringkat paling ringan kedua setelah si bontot. 

Terakhir kali ditimbang, carrier saya beratnya 11 kg, carrier Rere hampir 20 kilo, padahal berat kami cuma terpaut 7 kilo. Yaudah, dengan sedikit terpaksa, plus sok kuat dan sok asik pura-pura ga memikirkan berat carrier yang harus digendong nanti, kami berangkat ke Dieng sekitar setengah dua siang. Cuacanya yang sedikit mendung meninggalkan sedikit perasaan tidak tenang, persis kaya kalo pamit mau pergi main sama pacar cuma dijawab "Hv fun", hehe. 
  
***

Memasuki wilayah Dieng, bukannya membaik cuacanya malah semakin menyeramkan. Langit makin gelap, selain karena memang sudah malam, sempat hujan pula. Menuju basecamp Patak Banteng pun kami sempat kebablasan, nggak tanggung-tanggung kebablasannya 5km meski akhirnya kami sampai di basecamp sekitar jam setengah 8 malam dan disambut udara dingin begitu turun dari mobil, dengan gerimis yang masih rintik-rintik. 

Di basecamp saat itu hanya ada kami, dan dua rombongan lain. Satu rombongan yang baru turun, dan satu rombongan yang juga berencana naik. Rere yang memang punya bakat alami bersosialisasi dengan suasana sekitar langsung cas cis cus. Sambil menunggu petugas yang mengurus surat ijin pulang tarawih, kami makan dulu. Di sini, adek saya sudah mulai menunjukkan gelagat-gelagat yang mendatangkan sedikit kekhawatiran saat dia bilang sakit perut, lalu mulai ribet dengan pakaian yang dia siapkan sendiri. Mulai dari kaos kaki, jaket, celana, semua diribetin, untung ribetnya lucu, kalau nggak sepasang sepatu gunung mungkin udah melayang sih ~
Basecamp Patak Banteng, 21.20 WIB
Berlima, di bawah langit malam Dieng, di ketinggian 700M, kami berdoa dan briefing terakhir dipandu Rere yang malam itu memutuskan menjadi sweeper dan mempercayakan posisi kapten pada Berli. Setelah memastikan posisi carrier masing-masing sudah pas, kami mulai melangkah. Jujur, perasaan saya sudah mulai tidak karuan di titik ini, apalagi tak lama kemudian kami bertemu dengan.... tangga (yang tidak kelihatan ujungnya). Key, not as easy as it seems. Sesungguhnya tangga ini justru jadi awalan yang nyaris mematahkan semangat karena membuat dengkul tremor di titik awal. Benar saja, belum ada 20 anak tangga, adik saya minta berhenti. Pertama, mungkin dia shock, kedua, posisi carriernya masih belum enak. Kami berhenti. Berkali-kali Rere bilang, kalau ada yang capek, atau mau berhenti meskipun baru berapa langkah, bilang. 

Menuju pos satu, jalurnya masih tidak bersahabat. Setelah lolos dari tangga-tangga yang mendatangkan tremor, kami melewati tangga-tangga (lagi, tapi kali ini dari tanah) di antara perkebunan. Jalanannya sempit dan masih terasa dingin karena badan belum berkeringat. Sampai di sini, saya masih sibuk mempertanyakan keputusan saya ikut naik gunung karena yang terasa hanya : capek dan berat, atau capek dan dan berat banget, padahal belum apa-apa.

Seperti di surga saat Rere mengajak kami untuk istirahat sejenak saat ketemu tanah yang rata dan lumayan luas. "Duh Gusti pundakku ngeluuu..", yang sepanjang perjalanan cuma dibatin akhirnya mendapat sedikit kelegaan saat carrier bisa dipisahkan dari pundak barang dua menit. Badan juga udah mulai berkeringat sampai berani lepas satu lapis jaket, dan kempol sepertinya sudah menyadari bahwa mungkin memang di sini lah habitatnya. Ibarat motor, mesin saya udah mulai panas dan siap melaju, tapi sepertinya tidak dengan anggota kami yang satu itu, yang mulai terbaca gelagat kepayahannya.

Siapakah dia? Sanggupkah kami sampai di atas? 

Eng ing eng...


what should not be forgotten . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates