The End - Aku, Mereka dan Prau (2)
Apa
yang tersulit dari sebuah perhentian? Tentunya, saat kita harus kembali
melanjutkan perjalanan. Itu juga yang terjadi saat saya melanjutkan tulisan
yang udah vakum lebih dari sebulan ini. Buntu, tapi harus dilanjutkan, demi
anak cucu tau kalau orang tuanya pernah berhasil naik gunung. FYI, ini adalah
tulisan part dua yang saya tulis kedua kalinya, karena yang pertama hilang
gegara internet eror. Hampir putus asa, untung Hayati tidak menyerah.
***
Kembali
ke Prau.
Perjalanan
Menuju Pos Satu
Di
salah satu satu sudut, si bontot keliatan shock meski masih bertenaga. Untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, kami memutuskan untuk mengisi perut
dengan madu dan coklat. Geli-geli sih,
tapi kaya obat kuat, berasa jadi lebih bertenaga karena sebelumnya kami (saya
ding) sudah merasa lapar. Saat kami
beristirahat, sempat ada rintik-rintik yang entah gerimis atau embun dari
pepohonan, yang membuat kami bergegas melanjutkan perjalanan, sebelum tubuh
kembali malas karena terlalu lama leha-leha.
Di
trek selanjutnya, si bontot ini sering kali dapat perhatian khusus dari Rere
dan Berli, terutama karena doi mulai menampakkan gejala-gejala yang tidak
wajar. “Mbak Galing masih kuat?”, rasa-rasanya terucap dari mulut Rere setiap
dua menit sekali. Yang saya sadari pertama adalah, si bontot ini mulai
kelihatan pucat dan bibirnya membiru, bersamaan dengan datangnya keluhan sakit
perut. Fix, masuk angin lau. Kalau di komik, di atas kepala saya akan muncul
emot urek-urek yang menunjukkan pikiran ruwet. Iya ruwet sekaligus panik.
Karena tidak berapa lama setelah kami paksa dia untuk meneguk tolak angin di
peristirahatan, dia malah muntah dengan syahdunya, di tengah angin sembribit.
Udah dingin, laper, masih jauh, ada yang muntah. Saya sendiri sudah nggak yakin
perjalanan masih bisa dilanjutkan. Kalau sakitnya makin parah sementara kami
makin bergerak ke atas, masa iya kita bopong dia rame-rame ke bawah. Asli,
panik. Tapi mas sweeper dan mas kapten dan mas Angga tetap tenang, dan mengajak
kami berjalan lagi pelan-pelan, maka saya mencoba percaya saja pada mereka.
Untungnya,
setelah adegan muntah yang sama sekali nggak indah itu terjadi, bontot
berangsur-angsur membaik. Apalagi setelah pacarnya yang baik hati memindahkan
sebagian kecil botol air mineral (yang biar
kecil tapi berat) dari tas Galing ke tasnya sendiri yang sebenarnya sudah
penuh, banget. Uwh, so sweet dek, kakak suka gaya loe! Lulus seleksi dek!
Menuju
Pos Tiga - Cacingan
Perjalanan
dari pos dua ke pos tiga yang namanya Cacingan, entah kenapa seperti terasa
lebih lama dan panjang alias nggak nyampe-nyampe. Ada satu fase pula dimana
kami harus melewati bebatuan yang lumayan tinggi, dengan beban carrier yang
makin lama makin mendorong badan jadi condong ke depan. Berli, sebagai kapten,
berkali-kali mencoba menyemangati khas anak gunung “Dikit lagi nyampe kok..
Jalannya udah mau habis nih, berarti udah deket…” Yang selalu saya jawab dalam
hati “Ah masa iya..” sambil menahan rasa getir karena pundah udah nyaris copot.
Sementara itu, Rere di belakang sana makin tak terdengar suaranya. Mungkin dia
lelah gendong carrier yang beratnya hampir 20 kilo itu selama tiga jam. Oh,
bukan mungkin lagi, itu pasti.
Sekitar jam 1 dini hari
Setelah
di-PHP Berli berkali-kali, akhirnya omongannya menjadi kenyataannya, kami
sampai di puncak! Iya puncak, 2565 meter di atas permukaan laut. Yang selama
ini Cuma bisa dilihat lewat kepoin explorependaki atau insta pendaki itu lho!
Puncak Prau kata orang-orang! Sampe juga puji Tuhaaaaan!! Setelah hampir
menyerah di 30 menit pertama, setelah satu korban nyaris tumbang akibat masuk
angin.
Our welcoming view |
Saya
dan mas Angga bersamaan memasuki area puncak, sambil terpana dengan cara
masing-masing. Berli dan Rere berjalan di depan memilih tempat istirahat. “Hollyshit….” Bisik mas Angga yang memang
kalau misuh lebih sering pakai bahasa Inggris. Sementara saya sendiri juga
bengong, terpana, takjub, percaya nggak percaya, hingga akhirnya kembali
tersadar bahwa kami sudah berada di puncak gunung, setelah kedinginan.
Mau
sebanyak apapapun uang yang kami bawa saat itu, tetap saja kami tidak akan bisa
istirahat kalau tidak membangun rumah tanga, eh, tenda. Maka sebagai anggota
team #BelajarJalanJalan yang sudah terlatih bikin tenda, inilah saatnya saya
unjuk gigi. Untungnya cuaca dingin tidak membekukan ingatan saya sehingga tenda
berdiri tanpa adanya suatu gangguan apapun kecuali angin yang cukup kencang.
Tak
segera tidur, kami kembali mengisi perut dengan menu ala aa’ burjo. Indomie
rebus untuk beramai-ramai. Susu coklat panas, coklat batang, roti tawar dan
susu coklat segera saja jadi rebutan dan bergilir dari tangan ke tangan. Tak
ada sungkan, tak ada enggan, yang ada hanya kentut-kentut yang datang dari
lubang-lubang yang berbeda secara bergantian.
01.30 AM waktu Puncak Prau
Tenda
sudah berdiri, perut sudah terisi. Mas Angga dan Berli yang badannya
panjang-panjang sudah terdiam di tenda sebelah. Entah sebelumnya ada
perbincangan apa di antara mereka, sampai hari ini masih jadi rahasia dan saya
masih penasaran. Sementara kami kruntelan bertiga dan sibuk memeluk Galing
bergantian karena dia menggigil kedinginan. Saya sendiri tidak berani tidur
terlalu lelap, karena tangan dan kaki terasa membeku setiap mata terpejam. Jadilah
sepanjang malam saya dan Rere hanya tidur-tidur ayam sambil memeluki Galing. Huuu
enak nian kau dek dipeluk-peluk pacar aku, untung kau adek aku. Coba bukan,
berantem lah kita di atas gunung!
04.30 Waktu Prau
Hanya ada dua hal yang bisa
membuat saya terbangun jam segini saat di rumah, satu, harus ke gereja, dua, kebelet
pipis. Tapi tidak hari itu. Meski diawali pipis di semak-semak, saya terbangun
lebih pagi dari yang lain dan segera keluar tenda, menjemput fajar. Awalnya
sih, mau usaha bikin timelapse golden sunrise. Tapi apa daya suhu terlalu
dingin sehingga tangan membeku dan tidak terdetect di touch screen hape. Yaudah lah ya. Saat-saat itu justru menjadi
momen magis dimana saya ingin merekam semuanya dengan mata kepala saya sendiri.
Ingin mengingat lebih detail, ingin
menyimpan lebih lama, dan ingin merasakan lebih dalam apa yang ada di hadapan
saya, bersama mereka. Udara dinginnya, transisi warna langitnya,
wajah-wajah lelah dan bahagia itu. Maka jadilah, saat matahari perlahan muncul,
kami tak sibuk mengambil gambar tapi melihat secara langsung sambil tak
henti-hentinya berdecak kagum. Ini lhoo, golden sunrise yang sering diceritain
orang-orang. Ini lhooo, siluet Sumbing Sindoro yang ada di label AQ*A. Ini
lhoooo, bayarannya kalau kamu berani memutuskan untuk naik gunung. Dan saya
sama sekali tidak menyesal.
07.00 waktu perut sudah keroncongan
Puas menunggui sunrise, perut
mulai cari perhatian minta diisi. Dengan bahan seadanya, dapur kami bekerja.
Meski nasi belum matang sempurna, meski telur yang awalnya mau dibikin omelet
tapi hanya jadi telur ecek-ecek campur kornet, meski nugget masih lembek karena
minyak tidak bisa panas sepenuhnya, entah kenapa sarapan pagi itu rasanya
nikmat. Sebelumnya, mana pernah kami berkumpul dalam satu momen (apalagi di
dapur), masak bareng pake bumbu-bumbu bercandaan, dilanjutkan dengan makan
bareng sambil duduk melingkar di atas matras. Nggak peduli panas mulai datang,
nggak peduli mungkin di sebelah kami semalam habis dipipisin orang, yang ada
hanya nikmat bertubi-tubi.
Master Chef dadakan |
Omelet gagal, yang entah gimana tetap enak. |
Menu sarapan kami, pagi itu. Mevvah! |
Sekitar jam setengah 9-an
Seusai menyelesaikan hajat BAB
dengan pemandangan paling indah yang pernah saya alami seumur hidup, kami
bergegas pulang. Tak lupa menyempatkan foto full team, meski jadinya tak
seindah yang kami alami saat itu. Perkara turun gunung, saya memang lemah. Di
banyak kesempatan saya lebih memilih ndelosor daripada turun dengan melangkah.
Bukan apa-apa, jiper sama jurang di kiri kanan yang saat itu tertutup kabut.
Bayangin aja, kepleset dikit, jatuhnya bisa nggak tau kemana. Daripada-daripada,
mendingan malu dan lambat sedikit yang penting selamat.
Finally, Patak Banteng Lagi..
Yang paling
terlihat lega saat rombongan sudah kembali ke basecamp, yang pertama tentu saja
Rere, yang kali ini jadi PIC kami. Yang kedua, Galing. Wajah kuyu pucat dan
lesunya hilang. Yang ketiga, tentu saja pundak, betis dan telapak kaki kami
yang terasa melayang setelah menapak lantai dengan kaki telanjang. Udaranya
masih sama dingin, bedanya di sini ada yang bikinin teh anget. Sambil melepas
lelah dan menunggu giliran kamar mandi, kami mengistirahatkan pundak.
Masing-masing tenggelam dalam pikirannya, entah bersyukur, entah masih tidak
percaya, entah masih pengen di atas sana, tapi semuanya adalah wajah-wajah
bahagia.
Kalau bukan karena Rere yang tiba-tiba impulsive, mungkin naik gunung selamanya hanya akan jadi wacana dan cita-cita yang tidak pernah kesampaian. Kalau bukan karena Berli yang bela-belain dari Bandung ke Jogja untuk ikut bantu jagain rombongan, pasti rasanya nggak akan sama. Kalau bukan karena mas Angga yang dengan sukarela nyetir Jogja – Dieng – Jogja, pasti kami juga nggak akan jadi berangkat. Kalau bukan karena Galing yang muntah di atas gunung dan di dalam mobil, pasti nggak ada bahan cerita begitu kami sampai di rumah. Dan kalau bukan karena kalian yang bikin perjalanan ini terasa begitu hangat dan istimewa, pasti tulisan ini tidak akan pernah kalian baca. Semoga, kita masih punya kesempatan untuk mengulangi perjalanan serupa, sebagai keluarga.
“Pada akhirnya, naik gunung adalah tentang memilih orang yang akan menjagamu dan orang-orang yang akan kamu jaga selama perjalanan, dan saya memilih mereka.” |