Jul 22, 2017

Apa yang tersulit dari sebuah perhentian? Tentunya, saat kita harus kembali melanjutkan perjalanan. Itu juga yang terjadi saat saya melanjutkan tulisan yang udah vakum lebih dari sebulan ini. Buntu, tapi harus dilanjutkan, demi anak cucu tau kalau orang tuanya pernah berhasil naik gunung. FYI, ini adalah tulisan part dua yang saya tulis kedua kalinya, karena yang pertama hilang gegara internet eror. Hampir putus asa, untung Hayati tidak menyerah.

***

Kembali ke Prau.
Perjalanan Menuju Pos Satu

Di salah satu satu sudut, si bontot keliatan shock meski masih bertenaga. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, kami memutuskan untuk mengisi perut dengan madu dan coklat.  Geli-geli sih, tapi kaya obat kuat, berasa jadi lebih bertenaga karena sebelumnya kami (saya ding) sudah merasa lapar.  Saat kami beristirahat, sempat ada rintik-rintik yang entah gerimis atau embun dari pepohonan, yang membuat kami bergegas melanjutkan perjalanan, sebelum tubuh kembali malas karena terlalu lama leha-leha.

Di trek selanjutnya, si bontot ini sering kali dapat perhatian khusus dari Rere dan Berli, terutama karena doi mulai menampakkan gejala-gejala yang tidak wajar. “Mbak Galing masih kuat?”, rasa-rasanya terucap dari mulut Rere setiap dua menit sekali. Yang saya sadari pertama adalah, si bontot ini mulai kelihatan pucat dan bibirnya membiru, bersamaan dengan datangnya keluhan sakit perut. Fix, masuk angin lau. Kalau di komik, di atas kepala saya akan muncul emot urek-urek yang menunjukkan pikiran ruwet. Iya ruwet sekaligus panik. Karena tidak berapa lama setelah kami paksa dia untuk meneguk tolak angin di peristirahatan, dia malah muntah dengan syahdunya, di tengah angin sembribit. Udah dingin, laper, masih jauh, ada yang muntah. Saya sendiri sudah nggak yakin perjalanan masih bisa dilanjutkan. Kalau sakitnya makin parah sementara kami makin bergerak ke atas, masa iya kita bopong dia rame-rame ke bawah. Asli, panik. Tapi mas sweeper dan mas kapten dan mas Angga tetap tenang, dan mengajak kami berjalan lagi pelan-pelan, maka saya mencoba percaya saja pada mereka.

Untungnya, setelah adegan muntah yang sama sekali nggak indah itu terjadi, bontot berangsur-angsur membaik. Apalagi setelah pacarnya yang baik hati memindahkan sebagian kecil botol air mineral  (yang biar kecil tapi berat) dari tas Galing ke tasnya sendiri yang sebenarnya sudah penuh, banget. Uwh, so sweet dek, kakak suka gaya loe! Lulus seleksi dek! 

Menuju Pos Tiga - Cacingan
Perjalanan dari pos dua ke pos tiga yang namanya Cacingan, entah kenapa seperti terasa lebih lama dan panjang alias nggak nyampe-nyampe. Ada satu fase pula dimana kami harus melewati bebatuan yang lumayan tinggi, dengan beban carrier yang makin lama makin mendorong badan jadi condong ke depan. Berli, sebagai kapten, berkali-kali mencoba menyemangati khas anak gunung “Dikit lagi nyampe kok.. Jalannya udah mau habis nih, berarti udah deket…” Yang selalu saya jawab dalam hati “Ah masa iya..” sambil menahan rasa getir karena pundah udah nyaris copot. Sementara itu, Rere di belakang sana makin tak terdengar suaranya. Mungkin dia lelah gendong carrier yang beratnya hampir 20 kilo itu selama tiga jam. Oh, bukan mungkin lagi, itu pasti.

Sekitar jam 1 dini hari
Setelah di-PHP Berli berkali-kali, akhirnya omongannya menjadi kenyataannya, kami sampai di puncak! Iya puncak, 2565 meter di atas permukaan laut. Yang selama ini Cuma bisa dilihat lewat kepoin explorependaki atau insta pendaki itu lho! Puncak Prau kata orang-orang! Sampe juga puji Tuhaaaaan!! Setelah hampir menyerah di 30 menit pertama, setelah satu korban nyaris tumbang akibat masuk angin.

Our welcoming view
Saya dan mas Angga bersamaan memasuki area puncak, sambil terpana dengan cara masing-masing. Berli dan Rere berjalan di depan memilih tempat istirahat. “Hollyshit….” Bisik mas Angga yang memang kalau misuh lebih sering pakai bahasa Inggris. Sementara saya sendiri juga bengong, terpana, takjub, percaya nggak percaya, hingga akhirnya kembali tersadar bahwa kami sudah berada di puncak gunung, setelah kedinginan.


Mau sebanyak apapapun uang yang kami bawa saat itu, tetap saja kami tidak akan bisa istirahat kalau tidak membangun rumah tanga, eh, tenda. Maka sebagai anggota team #BelajarJalanJalan yang sudah terlatih bikin tenda, inilah saatnya saya unjuk gigi. Untungnya cuaca dingin tidak membekukan ingatan saya sehingga tenda berdiri tanpa adanya suatu gangguan apapun kecuali angin yang cukup kencang.
Tak segera tidur, kami kembali mengisi perut dengan menu ala aa’ burjo. Indomie rebus untuk beramai-ramai. Susu coklat panas, coklat batang, roti tawar dan susu coklat segera saja jadi rebutan dan bergilir dari tangan ke tangan. Tak ada sungkan, tak ada enggan, yang ada hanya kentut-kentut yang datang dari lubang-lubang yang berbeda secara bergantian.



01.30 AM waktu Puncak Prau
Tenda sudah berdiri, perut sudah terisi. Mas Angga dan Berli yang badannya panjang-panjang sudah terdiam di tenda sebelah. Entah sebelumnya ada perbincangan apa di antara mereka, sampai hari ini masih jadi rahasia dan saya masih penasaran. Sementara kami kruntelan bertiga dan sibuk memeluk Galing bergantian karena dia menggigil kedinginan. Saya sendiri tidak berani tidur terlalu lelap, karena tangan dan kaki terasa membeku setiap mata terpejam. Jadilah sepanjang malam saya dan Rere hanya tidur-tidur ayam sambil memeluki Galing. Huuu enak nian kau dek dipeluk-peluk pacar aku, untung kau adek aku. Coba bukan, berantem lah kita di atas gunung!


04.30 Waktu Prau
Hanya ada dua hal yang bisa membuat saya terbangun jam segini saat di rumah, satu, harus ke gereja, dua, kebelet pipis. Tapi tidak hari itu. Meski diawali pipis di semak-semak, saya terbangun lebih pagi dari yang lain dan segera keluar tenda, menjemput fajar. Awalnya sih, mau usaha bikin timelapse golden sunrise. Tapi apa daya suhu terlalu dingin sehingga tangan membeku dan tidak terdetect di touch screen hape. Yaudah lah ya. Saat-saat itu justru menjadi momen magis dimana saya ingin merekam semuanya dengan mata kepala saya sendiri. Ingin mengingat lebih detail, ingin menyimpan lebih lama, dan ingin merasakan lebih dalam apa yang ada di hadapan saya, bersama mereka. Udara dinginnya, transisi warna langitnya, wajah-wajah lelah dan bahagia itu. Maka jadilah, saat matahari perlahan muncul, kami tak sibuk mengambil gambar tapi melihat secara langsung sambil tak henti-hentinya berdecak kagum. Ini lhoo, golden sunrise yang sering diceritain orang-orang. Ini lhooo, siluet Sumbing Sindoro yang ada di label AQ*A. Ini lhoooo, bayarannya kalau kamu berani memutuskan untuk naik gunung. Dan saya sama sekali tidak menyesal.








07.00 waktu perut sudah keroncongan
Puas menunggui sunrise, perut mulai cari perhatian minta diisi. Dengan bahan seadanya, dapur kami bekerja. Meski nasi belum matang sempurna, meski telur yang awalnya mau dibikin omelet tapi hanya jadi telur ecek-ecek campur kornet, meski nugget masih lembek karena minyak tidak bisa panas sepenuhnya, entah kenapa sarapan pagi itu rasanya nikmat. Sebelumnya, mana pernah kami berkumpul dalam satu momen (apalagi di dapur), masak bareng pake bumbu-bumbu bercandaan, dilanjutkan dengan makan bareng sambil duduk melingkar di atas matras. Nggak peduli panas mulai datang, nggak peduli mungkin di sebelah kami semalam habis dipipisin orang, yang ada hanya nikmat bertubi-tubi.



Master Chef dadakan


Omelet gagal, yang entah gimana tetap enak.



Menu sarapan kami, pagi itu. Mevvah!

Sekitar jam setengah 9-an
Seusai menyelesaikan hajat BAB dengan pemandangan paling indah yang pernah saya alami seumur hidup, kami bergegas pulang. Tak lupa menyempatkan foto full team, meski jadinya tak seindah yang kami alami saat itu. Perkara turun gunung, saya memang lemah. Di banyak kesempatan saya lebih memilih ndelosor daripada turun dengan melangkah. Bukan apa-apa, jiper sama jurang di kiri kanan yang saat itu tertutup kabut. Bayangin aja, kepleset dikit, jatuhnya bisa nggak tau kemana. Daripada-daripada, mendingan malu dan lambat sedikit yang penting selamat.

Finally, Patak Banteng Lagi..
Yang paling terlihat lega saat rombongan sudah kembali ke basecamp, yang pertama tentu saja Rere, yang kali ini jadi PIC kami. Yang kedua, Galing. Wajah kuyu pucat dan lesunya hilang. Yang ketiga, tentu saja pundak, betis dan telapak kaki kami yang terasa melayang setelah menapak lantai dengan kaki telanjang. Udaranya masih sama dingin, bedanya di sini ada yang bikinin teh anget. Sambil melepas lelah dan menunggu giliran kamar mandi, kami mengistirahatkan pundak. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya, entah bersyukur, entah masih tidak percaya, entah masih pengen di atas sana, tapi semuanya adalah wajah-wajah bahagia. 



Kalau bukan karena Rere yang tiba-tiba impulsive, mungkin naik gunung selamanya hanya akan jadi wacana dan cita-cita yang tidak pernah kesampaian. Kalau bukan karena Berli yang bela-belain dari Bandung ke Jogja untuk ikut bantu jagain rombongan, pasti rasanya nggak akan sama. Kalau bukan karena mas Angga yang dengan sukarela nyetir Jogja – Dieng – Jogja, pasti kami juga nggak akan jadi berangkat. Kalau bukan karena Galing yang muntah di atas gunung dan di dalam mobil, pasti nggak ada bahan cerita begitu kami sampai di rumah. Dan kalau bukan karena kalian yang bikin perjalanan ini terasa begitu hangat dan istimewa, pasti tulisan ini tidak akan pernah kalian baca. Semoga, kita masih punya kesempatan untuk mengulangi perjalanan serupa, sebagai keluarga.



“Pada akhirnya, naik gunung adalah tentang memilih orang yang akan menjagamu dan orang-orang yang akan kamu jaga selama perjalanan, dan saya memilih mereka.”





what should not be forgotten . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates