Musuh Kita Selalu Dekat, Kita yang Pura-pura Tak Melihat
Sejak kecil, saya selalu menghindari
yang namanya permusuhan. Sampai dewasa, seingat saya pun belum pernah ada
konflik yang berarti antara saya dan teman-teman terdekat. Tidak, tidak sampai
hari itu tiba. Hari yang begitu mengejutkan (in a sad way) bagi saya, dan sungguh tidak pernah saya duga akan
datang. Singkat kata, sesuatu yang kurang menyenangkan terjadi pada diri saya,
sesuatu yang saya jalani tiba-tiba harus disudahi begitu saja.
Hari-hari yang berlalu setelah
itu saya gunakan untuk mengutuki hal yang membuat saya begitu kecewa, meratapi
diri saya sendiri dan terus berpikir bagaimana hal itu bisa terjadi. Hingga tak lama setelahnya di suatu kesempatan
saya bertukar pikir dengan seseorang di luar lingkup saya, dan keluarlah
kata-kata yang menyudutkan, “Kamu sih, terlalu nyaman, jadi nggak percaya kalau
dibilangin orang lain. Udah kena batunya baru percaya kan?” Seperti tertampar,
saya tidak bisa membalas perkataannya, dan dalam hati saya tahu, kata-katanya
memang benar. Dia benar, sayangnya saya sudah terlambat menyadari.
Biasanya, sebelum terjadi hal buruk,
kita selalu punya firasat. Gejala, tanda-tanda atau hal tak biasa yang bisa kita
baca. Sayangnya, dalam banyak hal, jika hal itu terjadi dalam konteks atau
keadaan yang selama ini sudah membuat kita nyaman dan terasa aman, kita
membutakan diri dari keburukan-keburukan yang ada. Kita takut kehilangan rasa
nyaman itu jika kita memberanikan diri untuk membuat perubahan, maka kita
memilih diam. Padahal di luar sana, orang melihat keanehan, ketidakwajaran,
kejanggalan dan berbagai hal kurang baik yang selalu kita tutupin dengan, “Ah,
emang gitu kok biasanya…” (akuilah, gengs). Atau yang lebih parah lagi, kita
justru melihat berbagai ketidakwajaran itu sebagai sesuatu yang menarik dan tak
hanya membelanya, kita pun membanggakannya.
Itu dia, kata-kata yang
sebelumnya saya anggap sebagai poin positif, nyatanya menggerogoti diri saya
sendiri, dengan cara yang menyakitkan, dialah zona nyaman.
Nyaris dalam semua unsur
kehidupan, zona nyaman adalah teman dekat yang diam-diam menjadi musuh kita.
Kehadirannya yang membuat kita malas berusaha lebih, atau merasa cepat puas
hingga lupa mawas diri. Saat dia dekat, yang selalu menang adalah ego kita,
nalar dan pikir kerap mati dan tersingkir.
Terjebak di zona nyaman itu
menyenangkan kawan, tapi begitu mahal harga yang harus kau bayar untuk berenang
keluar saat kau sudah tenggelam di dalamnya. Meski saya merugi, namun pada
akhirnya saya belajar. Bahwa melawan diri sendiri adalah hal tersulit
sekaligus, semestinya termudah yang menjadi pergulatan kita setiap hari dan
setiap saat.
Teruntuk kalian yang mungkin sedang mengalaminya, jangan terjebak. Beranikan diri untuk bergerak, sebab penyesalan di akhir tak memberimu apapun selain pelajaran.